Penulis : Renny Puteri Harapan Rani S.I.Pem., M.AP (Ketua Umum Nasional Perkumpulan Intelektual Madani Indonesia, Direktur Utama Media Arlisakadepolicnews.com)
Saat banyak negara di dunia justru mengalami penuaan demografi, Indonesia justru akan memasuki siklus bonus demografi yakni pada 2030 hingga 2045.
Tak main – main, jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen adalah penduduk dengan usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan diatas 65 tahun). Melihat jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara penduduk non-produktif hanya 60 juta.
Dengan ini, maka bonus demografi diprediksi akan membawa peluang menguntungkan khususnya bagi sektor ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Namun peluang tersebut akan berdampak keuntungan apabila prasyarat utamanya terpenuhi. Sebaliknya, jika sejumlah prasyarat tidak diupayakan maka tentu yang terjadi adalah bonus demografi hanya akan berlalu tanpa memberikan dampak progresif bagi sektor – sektor strategis di indonesia. Mengutip Jati (2015) yang mengatakan bahwa “Jika negara tidak melakukan investasi pada sumber daya manusia (human capital investment) maka besar kemungkinan bonus demografi akan berubah menjadi gelombang pengangguran massal dan semakin menambah beban anggaran negara.”
Lalu siapakah sebetulnya generasi milenial itu? Menurut teori generasi adalah yang lahir antara 1980 – 1995 akhir lah yang sedang berada pada usia produktifnya. Atau biasa juga disebut Generasi Y. Mereka ini yang digadang – gadang akan paling berpeluang memperoleh manfaat bonus demografi. Sayangnya, peluang ini bisa menjadi sebuah dilema yang tak sepenuhnya terasa sebagai “bonus”.
Penyebabnya ada tiga hal yaitu pertama, jika seluruh lembaga masyarakat dan pemerintah tidak mengoptimalkan perannya sebagai The Agent of Change. Kedua karena generasi milenial memiliki ciri khas tersendiri yang dikenal kritis dalam pola pikir misalnya, Milennials tidak terlalu mengejar kepuasan kerja, namun yang lebih milenials inginkan adalah fokus pada bagaimana menangkap peluang untuk dapat mengembangkan diri.
Kemudian Milennials cenderung tidak menginginkan adanya atasan atau boss dan lebih senang bekerja independent tanpa tekanan serta memiliki tipikal on going conversation dalam proses bekerja. Faktor penyebab yang ketiga adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), artinya persaingan tenaga kerja bukan hanya antar warga negara Indonesia saja, melainkan juga dengan warga negara asing.
Sehingga mengembangkan kompetensi, produktifitas, dan mengedukasi tenaga kerja lokal menjadi mutlak harus dipenuhi bagi seluruh lembaga terkait dalam hal ini khususnya pemerintah.
Bonus demografi jelas dapat disebut sebagai kesempatan emas dan momentum penting bagi Indonesia, mensinergikan seluruh perangkat yang ada dan melahirkan program serta kebijakan yang pro adalah salah satu kunci penting. Tentu bagi generasi muda milenial harus fokus menangkap peluang yang ada, bersaing objektif dan kreatif dengan memanfaatkan era digitalisasi dengan bijak, meng-upgrade kapasitas agar lebih kompetitif demi mengoptimalisasi keuntungan yang potensil diraih dari siklus bonus demografi tersebut.