Oleh : Adhy Panrita
Prita Mulyasari (Ibu rumah tangga), Ahmad Dhani (Musisi), Ariel Noah (Musisi), Baiq Nuril (Guru Honorer), Buni Yani (Peneliti), Muh. Arsyad (Penjual Sate), dan masih banyak lagi_bahkan mungkin ratusan_ nama-nama lain yang pernah berurusan dengan pihak kepolisian gegara ulah jemarinya.
Mungkin awalnya sepele. Hanya buat status di Facebook. Ngetwit atau pasang status di twitter. Atau berkomentar di status orang lain. Status atau komentar itu berisi ujaran kebencian atau penghinaan pada orang lain. Orang yang merasa dirugikan melapor ke Polisi. Pembuat status atau komentar kemudian dipanggil polisi. Ditetapkan sebagai tersangka. Lalu ia disidang di pengadilan. Ujung pangkalnya, ia kemudian divonis bersalah oleh pengadilan. Akhirnya, ia pun terpaksa harus mengakhiri kebahagiaan hidupnya dibalik ganasnya jeruji besi penjara.
Ngeri juga kan?. Tapi ini fakta lho. Banyak orang yang terjerumus dan masuk penjara gara-gara jemarinya. Awalnya mungkin orang itu hanya menyimpan kebencian pada orang lain dalam hatinya. Akan tetapi, berkat andil jemarinya, orang tersebut menumpahkan rasa kebencian yang ada dalam hatinya itu melalui status atau komentar di media sosial. Akhirnya apa yang terjadi?. “Jemari Membawa Sengsara (JMS)” baginya.
Hal demikian bukan saja sebagai peringatan, melainkan juga sekaligus pelajaran. Kasus-kasus yang telah menimpa banyak orang seperti contoh diatas sejatinya menjadi peringatan sekaligus pembelajaran kepada kita.
Akhir-akhir ini saya melihat banyak orang yang membuat status dan komentar “pedis”, apalagi kaitannya dengan agenda Pilkada. Macam-macamlah status dan komentar orang-orang ini.
Status atau komentarnya mulai dari Sabang sampai Marauke. Dari Timur sampai ke Barat. Dari ujung kuku sampai ujung rambut kandidat. Semua dibuatkan status dan dikomentari dengan beragam komentar.
Celakanya, tak jarang dari status atau komentar itu terasa “pedis” ketika kita baca. Kita saja yang baca merasa “pedis”. Bagaimana kira-kira bila yang baca itu orangnya langsung yang kita cela, sindir, olok-olok atau bully?, apa tidak terasa lebih “pedis” lagi?.
Memang status dan komentar itu bukan lada, yang rasanya memang sudah pedis. Akan tetapi, dengan membuat status atau komentar dengan tujuan tertentu itu kadang juga terasa “pedis” seperti rasa pedisnya lada.
Pasti kita tidak berharap kasus yang menimpa Prita Mulyasari, Ahmad Dhani, Ariel Noah, Baiq Nuril, Buni Yani, Muh. Arsyad dan seterusnya juga menimpa kita. Oleh sebab itu, saya pikir sudah sebaiknyalah kita hati-hati dalam membuat status atau menulis komentar di media sosial. Bukankah Tuhan telah memberikan kita akal?, juga anggota tubuh (jemari) yang harusnya difungsikan untuk kebaikan, bukan malah sebaliknya?.
Dalam bermedia sosial, sejatinya banyak hal bermanfaat selain dari sekedar menebar kebencian yang bisa kita lakukan dengan jemari ini. Hal bermanfaat itu misalnya dengan membuat tulisan yang berisi motivasi hidup. Tujuannya, agar orang yang membaca tulisan kita termotivasi dalam menghadapi beban dan kesulitan dalam hidupnya.
Bukti kesalahan penggunaan jemari telah banyak kita jumpai. Karena itu, mulai sekarang ada baiknya kita pandai-pandailah menggunakan jemari ini. Jangan sedikit-sedikit jemari ini digunakan mengetik status atau komentar permusuhan. Status kebencian, celaan, bully, olok-olok dan seterusnya. Apalagi soal Pilkada semata.
Saya percaya bahwa jari-jari tangan ini diciptakan Tuhan sejatinya adalah untuk menambah kebahagian kita. Bukan malah sebaliknya, JMS (Jemari Membawa Sengsara).
Karena itu, lagi-lagi, gunakan jari-jari itu dengan baik. Bolehlah digunakan jari-jari itu untuk kesenangan. Tetapi, jangan pula dengan jari-jari itu orang lain dibuat susah.
Penulis:
– Pemerhati Media Online dan SPV Riset Indonesia Local Victory (ILV)
– Alumni Fakultas Hukum Unhas dan Mahasiswa Pasca Sarjana UMI