Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Mencintai Politik” dan “Selamat Datang Di Manggarai Barat”
Dalam konteks Pilkada Manggarai Barat (Mabar) yang akan berlangsung 23 September 2020, sebagai warga yang berasal dari Cereng, Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang-Mabar, saya perlu mengelaborasi konten (isi) diskusi di beberapa group media sosial (WhatsApp dan Facebook). Poin saya sederhana, walau masih di tanah rantauan karena aktivitas akademik dan profesi, saya masih bisa memberi opini konstruktif bagi warga Mabar, terutama dalam menanti Pilkada Mabar pada 23 September 2020 nanti. Semoga saja bermanfaat.
Dalam tataran teoritis, demokrasi sejatinya kekuasaan yang dikonstruksi dan berdiri di atas kehendak rakyat; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau dalam ungkapan Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sejalan dengan itu, demokrasi meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Demikian para pakar politik memberi pencerahan sederhana kepada kita.
Dalam konteks Indonesia, rumusan teoritis (ideal) demokrasi di atas bisa dikatakan belum menemukan habitusnya. Kalau mau jujur, demokrasi Indonesia masih bersolek diri dalam wajah prosedural semata. Demokrasi kita masih kerap dibajak oleh para elite politik dalam lekak-lekuk prosedural. Tujuannya cuma dua yakni memburu dan memupuk kekuasaan (jabatan). Mereka menunaikannya melalui berbagai sarana demokrasi, termasuk saat ini menjelang Pilkada berlangsung.
Sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media massa, menjelang Pilkada serentak yang makin dekat di beberapa provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, termasuk di Mabar, partai-partai politik dan tokoh-tokoh yang berminat untuk maju dalam Pilkada sudah mulai bersiap-siap.
Sebagian sudah ada yang mengarah, sebagian lain baru pasang kuda-kuda. Ada juga yang sudah berpasangan, ada yang baru berpisah pasangan, dan ada juga yang sengaja tak mempublikasi pasangan. Semuanya masih dinamis dan cair.
Dalam konteks Pra Pilkada, jika diperhatikan dari efektifitas sebuah iklan diri (pra kampanye), mungkin dapat disebutkan, semua mereka sesungguhnya belum sukses, walaupun sudah ada yang mulai turun ke desa-desa dan ke kampung-kampung, atau melemparkan jargon-jargon dan harapan-harapan melalui media massa juga media sosial. Alasannya, istilah-istilah yang dipergunakan banyak yang masih sulit dicerna rakyat biasa. Bahasa yang diucapkan masih bergaya puisi.
Tapi itulah demokrasi kita, demokrasi Pemilu. Setiap orang punya hak memilih dan dipilih, punya hak bicara dan hak suara. Walaupun minus pencerdasan, semua orang punya posisi yang sama-sama bebas. Satu kenyataan yang perlu mendapatkan kajian dan perhatian dari berbagai pihak. Agar perhelatan demokrasi (Pilkada) tidak sekadar seremoni menebar pesona lalu ingkar janji dengan biaya yang tak sedikit, tapi betul-betul sebagai ruang seleksi sekaligus momentum penokohan mereka yang layak memimpin Mabar.
Tanpa mengesampingkan catatan kritis terhadap kualitas pemilih, yang tentu saja perlu perhatian banyak pihak, ada pertanyaan yang perlu kita sampaikan kepada para elite politik, apa yang menjadi tujuan dari iklan diri itu? apakah sekadar untuk popularitas dengan sering tampil, atau untuk meningkatkan elektabilitas? disamping banyak pertanyaan yang hadir bermunculan.
Istilah popularitas dan elektabilitas dalam dunia politik yang hadir dalam kehidupan masyarakat memang sering dimaknai dalam satu makna yang sama. Padahal keduanya mempunyai makna dan konotasi yang berbeda, meskipun keduanya mempunyai kedekatan dan korelasi yang besar.
Popularitas sendiri lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya seseorang, baik dalam arti positif ataupun negatif. Sementara elektabilitas berarti kesediaan orang memilihnya untuk jabatan tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jenis jabatan yang ingin diraih. Elektabilitas untuk menjadi Kepala Daerah (Bupati/Wakil Bupati) tidak bisa disamakan dengan elektabilitas untuk jabatan ketua organisasi persilatan, misalnya.
Dalam masyarakat, sering diartikan, orang yang populer dianggap mempunyai elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas tinggi adalah orang yang populer. Memang kedua kontestasi ini ada benarnya. Tapi tidak selalu demikian. Popularitas dan elektabilitas tidak selalu berjalan seiring, tapi ada kalanya berbalikan.
Orang menjadi popular karena sering tampil di depan umum, sering terlibat dengan persoalan-persoalan publik. Bagaimana dia tampil, merupakan persoalan lanjutan untuk menilai elektabilitasnya. Kalau tampilnya sebagai pelaku kriminal, sebagai koruptor (maling uang negara: APBN, APBD, Dana Desa dan dana lain), terlibat kasus judi, menjadi investor perusahaan minuman keras, kerap ingkar janji, atau karena tindakan yang melanggar etika publik lainnya, maka pengaruhnya terhadap elektabilitas tentu saja negatif atau buruk.
Orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik secara meluas dalam masyarakat. Namun untuk dapat dikenal secara luas, perlu ada usaha untuk memperkenalkan. Di sini publikasi atau nanti kampanye memegang peranan penting. Ada orang baik, yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang memperkenalkan menjadi tidak elektabel. Sebaliknya, orang yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepat.
Popularitas dan elektabilitas tergantung pada dua hal. Pertama, teknik kampanye yang dipergunakan oleh tokoh dan tim suksesnya. Kedua, tingkat kematangan masyarakat atau pemilih. Dalam masyarakat yang belum berkembang, kecocokan profesi tidak menjadi persoalan. Sementara dalam masyarakat yang relatif maju profesi calon menjadi cukup penting.
Yang perlu diingat, tidak semua iklan diri berhasil meningkatkan elektabilitas. Sebab ada iklan diri yang menyentuh, ada iklan diri yang tidak menyentuh kepentingan publik. Iklan diri yang menyentuh kepentingan publik bisa diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas. Tapi iklan diri asal iklan diri, tanpa menampilkan kinerja tokoh atau menggunakan kata-kata yang tidak relevan atau yang tidak dapat dipahami publik, nampaknya dapat berakibat pada minusnya kepercayaan publik.
Ke depan, terutama di musim kampanye Pilkada nanti, kita berharap agar para elite politik dan para penyokongnya tidak terjebak dalam kungkungan popularitas tanpa isi, sebab publik-pemilih semakin cerdas dan paham bahwa populer bukan serta merta mencirikan kecakapan seseorang dalam mengemban amanah publik.
Di era keterbukaan sekarang ini, publik-pemilih sangat paham mana elite politik yang hanya cerdas menjual diri, dan mana yang berani mengorbankan diri dan tulus untuk kepentingan publik; mana elite politik yang pandai mengubar prosa janji-janji, dan mana yang tulus menunaikan kinerja bakti termasuk kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat Mabar. [***]