Opini : Netizen dan Media Arus Utama Baru

  • Whatsapp

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Politik Sambalado” dan “Mencintai Politik”

Wah saya mesti menulis tentang apa yang hari ini? Agak bingung juga. Soalnya di luar sana lagi mendung. Sepertinya mau hujan lagi. Bagus aja sih, tapi semoga aja tak banjir air lagi. Kalau banjir duit ya bolehlah.

Tapi tenang, walau mendung, pikiran dan hati saya masih ada untuk kamu. Ya kamu. Kamu yang membaca tulisan ini. Biar berbeda pendapat dan pendapatan, suasana mendung justru menjadi latar untuk berbagi inspirasi. Termasuk untuk kamu. Kamu pasti mau dan tuntas membacanya kan?

Langsung aja ya. Begini. Beberapa tahun terakhir publik kerap mengkritik media massa dan awaknya yang dinilai pro kekuasaan. Kekuasaan tak melulu Presiden, Menteri, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati atau Walikota dan sebagainya. Tapi juga pengendali ekonomi. Atau bahkan elite media massa itu sendiri.

Atau paling tidak media massa hanya sibuk menebar berita dan iklan para politisi yang berhasrat untuk ikut pesta politik semacam Pilkada. Advokasi publiknya pun minim, bahkan terkesan enggan. Tapi membela elite-nya kebangetan. Ibarat kata, meminjam ungkapan teman, pejabat kentut aja diberitain bahkan dibelain abis-abis. Kacau balau, kan?

Mungkin di era serba bebas seperti ini boleh-boleh saja bertindak dan memilih langkah itu. Cuma saya sebagai pembaca dan penikmat framing media massa dan awaknya kadang kesal juga. Apalagi kalau awak media massa sibuk membela pejabat, itu bikin kesal banget. Soalnya apa? Lah pejabat diberi mandat oleh rakyat agar konsisten dengan mandat, bukan jungkir balik ke sana ke mari sesuai selera.

Belum beres dengan mandat yang satu, eh malah sibuk mau kejar kursi mandat yang baru. Emang berbagai janji politik sudah mulai ditunaikan? Emang seabrek janji yang disampaikan secara berbusa-busa di musim kampanye pileg, misalnya, sudah mulai digarap? Atau semua itu sekadar parade janji dan basa-basi? Mikirlah sedikit. Itu pun kalau masih punya akal sehat dan nurani.

Pada kondisi demikian, kalau media massa atau awaknya malah menjadi corong pejabat atau politisi semacam itu dan enggan mendengar substansi suara dan kritik warga atau publik, warga juga jadi kesal dan bosan. Kesal dan bosannya bakal berjangka panjang dan pasti tersebar di basis massa dan berbagai level warga masyarakat.

Ya, kalau kalangan media massa enggan menebar daya kritis, karena bias interest pemimpin atau redaksi media massa, misalnya; atau tak sesuai selera alias kepentingan awak media massa, biarlah warga atau netizen yang membuat dan menebar tulisan sendiri sebagai wujud kritik atas segala hal yang tak wajar.

Sekarang banyak mediumnya kok. Kalau media massa cetak dan online yang konon sering melabel diri sebagai arus utama (entah dapat ngamen dari mana tuh label) engga punya kepedulian terhadap suara dan rintihan hati publik, ya masih ada media lain. Ada media sosial seperti blog, facebok, twitter, whatsapp dan serupanya. Semuanya gratis aja. Tinggal bikin aja, bikin tulisan lalu share. Beres deh.

Jadi, di saat keadilan berita dan opini serta framing media massa atau awak media massa dirasa tak sesuai selera publik, maka publik sejatinya punya media arus utamanya sendiri bahkan lebih update. Selain gratis, ini lebih bebas dan bisa diakses kapan saja. 24 jam. Namanya media sosial.

Ya itu adalah media sosial. Tulisan lepas yang berisi kritikan bisa diungkap atau dishrae di situ. Lagi-lagi, sangat gratis tanpa biaya iklan ini itu. Ini adalah era kemerdekaan netizen. Begitu kata seorang teman. Bersuara tanpa beban dan tak dihimpit rasa takut, katanya. Lagian ngapain takut?

Termasuk dalam momen menjelang Pilkada 23 September 2020. Warga bisa berkata bebas. Termasuk menagih konsistensi mereka yang mendapat mandat di DPRD Mabar periode 2019-2024 untuk fokus di DPRD Mabar dulu. Jangan kejar kursi lain, penuhi janji politiknya dulu. Kalau engga juga, kesannya rakus dan serakah jabatan. Ini kesan aja lho. Bukan fitnah.

Blog, facebok, twitter, whatsapp dan serupanya adalah lidah rakyat paling ampuh. Karena semuanya sekarang bisa diakses dan digerakkan dari kampung dan desa-desa. Di saat media massa atau awak media massa dinilai tak hadir sebagai pencerah tapi malah menjadi penebar selera atau menjadi lidah pejabat publik, maka netizen akan menggunakan medianya sendiri.

Dan, hal ini yang penting untuk dicatat: media massa dan awaknya bisa-bisa dilupakan netizen atau pembaca. Saya tidak sedang menakuti media massa, tapi sekadar mengingatkan betapa netizen di zaman ini sangat kritis, merdeka dan bebas. Dengan daya kreasi dan inovasinya bisa membuat media arus utama era baru. Ini baru mantap. (***)

Pos terkait