Opini : Bahasa Kedua Dalam Tes PISA Kita

  • Whatsapp

Oleh : Satria Darma
PENGGAGAS GERAKAN LITERASI SEKOLAH

Sebagai penggagas Gerakan Literasi Sekolah hasil tes PISA yang baru saja dirilis benar-benar membuat hati saya sedih dan kecewa. Saya pikir GLS yang dijadikan sebagai program resmi Kemendikbud yang kemudian disebarluaskan ke seluruh Nusantara selama beberapa waktu ini paling tidak akan memberi sedikit efek pada peningkatan nilai tes PISA 2015 kita ke PISA 2018. Faktanya malah menurun.

Hasil Tes PISA 2018 kita kembali merosot ke poin 371. Sama persis dengan poin kita pada tahun 2000. Jadi 18 tahun berlalu dan kita masih berada di tempat yang sama dalam soal kemampuan membaca. Sungguh mengenaskan, ada apa yang salah sebenarnya? mengapa semua kerja pendidikan kita selama ini sama sekali tidak berbekas?.

Jelas sekali bahwa apa yang kita lakukan selama ini sama sekali tidak mampu meningkatkan kemampuan literasi anak-anak kita. Kita harus bersungguh-sungguh meneliti kesalahan kita ini dan mencoba cara lain yang lebih efektif.

Menurut saya ada beberapa alasan mengapa GLS yang meski pun sudah menjadi program Kemendikbud secara nasional belum juga memberikan hasil yang memadai. Apakah program GLS yang selama ini kita laksanakan salah?.
Tentu “Tidak”, pembiasaan siswa untuk membaca sangatlah penting dan vital. Justru sebaliknya kegagalan kita adalah karena program ini memang belum dilaksanakan secara merata.

Jangankan yang di luar Jawa, sedangkan di Jawa Timur pun masih banyak sekolah yang belum melaksanakannya sampai hari ini. Kalau mau benar-benar berkeliling maka bahkan di Surabaya, di mana program ini pertama kali dilaksanakan, masih banyak sekolah yang belum melaksanakannya. Bahkan ada sekolah yang semula melaksanakannya saat ini sudah tidak melaksanakannya. Bukan hanya di daerah-daerah, bahkan di Jakarta yang nilai literasinya tertinggi program GLS ini juga belum berjalan dengan lancar. Artinya Kemendikbud dan Disdik belum berhasil mendorong setiap sekolah untuk menjalankan program sederhana membiasakan anak membaca 15 menit setiap pagi secara rutin ini secara massif.

Asumsi saya jika sudah diluncurkan oleh Kemendikbud dengan begitu gegap gempita maka akan langsung diikuti oleh semua sekolah dengan patuh dan ‘sami’na wa athokna’. I was wrong… jika di kota besar saja kita gagal menjalankan program sederhana ini maka jangan harap bisa menjalankan program ini di daerah-daerah yang jauh dari ibukota dan berada di remote area. Perlu sebuah strategi baru untuk dapat mengembangkan program GLS ini lebih jauh agar benar-benar menjadi sebuah instrument pengembangan kemampuan berbahasa anak.

Memang ada banyak kendala bagi sekolah untuk menjalankan GLS ini.

Pertama soal komitmen, untuk bisa berkomitmen memang dibutuhkan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya penumbuhan dan pengembangan minat baca siswa sejak SD. Membaca adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan yang akan diperoleh siswa di sekolah. Jika pentingnya membaca saja tidak benar-benar dipahami oleh para Kepala Sekolah dan guru maka usaha mereka untuk menjalankan GLS jelas minimal.

Kedua, soal fasilitas baca alias bukunya itu sendiri. Hampir semua sekolah yang pernah saya datangi tidak memiliki koleksi buku yang memadai untuk menjadikan siswanya berminat untuk membaca, baik dalam kuantitas maupun dalam kualitasnya.

Hal yang kedua terkait kendala bagi sekolah untuk menjalankan GLS
ini yang baru saya sadari bahwa Bahasa Indonesia yang kita ajarkan pada anak bukanlah bahasa Ibu (mother tongue) tetapi lebih banyak sebagai bahasa kedua (second language). Kita selama ini tidak pernah memahami bahwa Bahasa Indonesia itu bukanlah bahasa ibu bagi mayoritas anak-anak kita. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu hanyalah ada di kalangan keluarga terdidik yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehari-hari di rumah mereka.

Mayoritas keluarga di seluruh Indonesia masih menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing sebagai bahasa pengantar sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua atau second language bagi mereka. Dengan kondisi semacam ini maka jelas pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua semestinya menggunakan pendekatan berbeda dengan jika bahasa Indonesia menjadi bahasa pertama (mother tongue).

Konsep Belajar Bahasa adalah belajar terampil berbahasa (lisan dan tulisan). Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa ujaran atau pun tulisan. Hakikat pembelajaran Bahasa Indonesia di SD adalah pembelajaran yang mengarah kepada keterampilan berbahasa siswa baik lisan mau pun tulisan. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua jelas pendekatan, metode, dan teknik pembelajarannya harus berbeda.

Guru yang mengampu bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua harus benar-benar fasih berbahasa Indonesia baik lisan mau pun tulisan dan tidak menggunakan bahasa daerah atau bahasa pertama selama mengajar atau pun berinteraksi dengan siswa yang belum menguasai bahasa kedua baik lisan mau pun tulisan. Sayangnya masih sangat banyak guru di daerah yang mengajarkan bahasa Indonesia yang justru tidak begitu menguasai bahasa Indonesia secara lisan. Mereka bahkan sering menggunakan bahasa daerah dalam pembelajarannya. Ini tentu menghambat penguasaan siswanya dalam memperoleh ketrampilan berbahasa kedua.

Pembelajaran formal di kelas haruslah intensif dan siswa benar-benar dilatih untuk menggunakan bahasa kedua ini dalam berinteraksi baik di dalam mau pun di luar kelas. Ketidakmampuan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua jelas merupakan hambatan yang sangat besar dalam penguasaan kemampuan berliterasi siswa di bidang atau pun mata pelajaran lain. Oleh karena itu, latihan terus-menerus merupakan salah satu metode penguasaan bahasa Indonesia. Latihan ini haruslah mampu membuat siswa memiliki kemampuan berkomunikasi sebagaimana ia menggunakan bahasa pertamanya. Kurangnya latihan akan menghambat kemampuan siswa untuk menguasai bahasa kedua. Kalau pemerolehan bahasa kedua saja sudah banyak kesulitan akibat pengaruh bahasa pertama, bagaimana pula dengan proses bahasa ketiga, yaitu bahasa asing?

Dari hasil PISA atau pun UN kita bisa melihat bahwa bahasa Indonesia masih merupakan hambatan besar bagi siswa untuk dikuasai. Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang tidak disukai oleh para anak didik.

Dalam Ujian Nasional ternyata bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang dianggap paling sukar oleh para anak didik sehingga hasilnya paling buruk. Sebagai contoh, hasil UN jenjang SMA atau sederajat pada tahun 2013 nilai hasil UN mata pelajaran Bahasa Indonesia menempati peringkat terendah dibandingkan mata pelajaran lainnya. Lebih dari itu, nilai Bahasa Indonesia yang diperoleh oleh siswa jurusan Bahasa SMA ternyata lebih rendah daripada yang diperoleh siswa jurusan IPA dan IPS, (Republika, 24/5/2013). Sungguh ironis?.

Pada waktu Ujian Nasional, siswa yang melaksanakan UN di daerah merasa kesulitan dalam memahami soal yang menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini jelas menghambat kemampuan mereka dalam mengerjakan soal-soal UN. Mereka sebenarnya mengerti materi soalnya tapi karena bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya mereka kurang pahami maka hal ini membuat mereka tidak bisa menjawab dengan akurat. Kenyataan itu menunjukkan bahwa pelajaran bahasa nasional tidak mencapai sasaran.

Dalam mempelajari bahasa kedua (baca: bahasa Indonesia) perlu diperhatikan perbedaan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran pada siswa yang sehari-hari menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Perbedaan pendekatan dan metoda ini harus dikuasai oleh guru bahasa Indonesia yang juga harus fasih menggunakan bahasa Indonesia. Materi belajar dan fasilitas buku-buku penunjang harus benar-benar dilengkapi. Begitu juga dengan latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan. Ini tampaknya tidak pernah diperhatikan oleh Kemendikbud.

Kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia kita di SD dan SMP tampaknya memang harus benar-benar diubah dan diarahkan pada penguasaan siswa untuk memiliki kemampuan membaca dan menulis dan bukan pada kemampuan menjawab soal tes Bahasa Indonesia seperti yang sekarang berlangsung di kelas-kelas kita.

(Tulisan ini pernah dimuat di majalah PersSmansa Narang edisi bulan Desember 2019).

Pos terkait