Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Mencintai Politik” dan “Politik Sambalado”; warga Kampung Cereng, Golo Sengang, Sano Nggoang-Mabar
PILKADA Serentak merupakan salah satu hajat nasional Indonesia beberapa tahun terakhir pasca reformasi. Pilkada semacam ini ditengarai menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan selera pemilih sekaligus dianggap mengurangi biaya penyelenggaraan.
Sebab di sini pemilih bisa secara langsung menentukan siapa yang layak dipilih sebagai pemimpinnya. Walau masih menggunakan sistem semi terbuka, karena pasangan calon masih ditentukan oleh partai politik pengusung, sistem semacam ini masih dinilai memberikan angin segar bagi pemilih untuk mewujudkan kedaulatannya dalam pemilihan.
Sistem ini memang masih lebih baik daripada sistem tertutup, dimana pemimpin dipilih oleh anggota DPRD. Dari sisi biaya pemilihan oleh DPRD memang diduga lebih kecil alias bisa diminimalisir. Namun praktik suap sangat terbuka terjadi di sini. Di samping kualitas pemimpin sebagai hasilnya sangat jauh dari harapan masyarakat. Pemimpin pun hanya merupakan selera DPRD yang tentu saja sangat bias kepentingan.
Pilkada Serentak dengan sistem semi terbuka yang sudah digunakan sejak 2015 silam, walaupun masih terhitung sebagai tahap ujicoba, ia dinilai mendapatkan respon yang baik dari warga masyarakat, terutama para pemilih di setiap daerah yang mengikuti Pilkada. Dan ini yang paling hakiki yaitu pemilih pun bisa mengejawantahkan hak sekaligus kedaulatan politiknya.
Dalam politik termasuk dalam Pilkada Serentak, bakal calon yang hendak diikutkan dalam Pilkada diusung oleh partai politik yang memenuhi syarat Undang-undang, misalnya, terpenuhinya syarat minimal jumlah kursi di DPRD sesuai tingkatannya masing-masing.
Bila jumlah kursi di DPRD sebagai syarat minimal tak terpenuhi maka partai politik mesti berkoalisi. Dengan berkoalisi, maka syarat minimal kursi sebagai persyaratan pencalonan dapat terpenuhi. Setelah diseleksi oleh KPUD, bila persyaratan terpenuhi maka pasangan bakal calon ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pilkada.
Selain bisa menambal kekurangan jumlah kursi di DPRD sebagai syarat awal pencalonan, dengan berkoalisinya partai politik sebagai pengusung maka peta massa pemilih untuk memenangkan Pilkada presentasenya akan semakin luas dan besar. Bahkan kemungkinan menangnya jauh lebih besar.
Koalisi adalah tren politik dalam alam demokrasi era modern ini. Selain di pemilihan umum khususnya Pemilu penentuan presiden /wakil presiden alias Pilpres, koalisi juga kerap kita saksikan dalam berbagai Pilkada pada Pilkada yang sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya.
Ya, dalam Pilkada Serentak manapun sejak tahun 2015, 2017 hingga tahun 2018 lalu, hampir semua pasangan peserta kontestasi merupakan pasangan yang diusung oleh koalisi partai politik. Di samping diusung bahkan ada juga yang didukung oleh partai politik non perlemen sebagai upaya penambah suara.
Membaca dinamika politik Manggarai Barat atau Mabar akhir-akhir ini, terutama menjelang Pilkada 23 September 2020 nanti, sepertinya ada upaya dari partai politik tertentu untuk mencalonkan kadernya sendiri dalam satu paket pasangan. Alasannya sederhana: kadernya berkualitas dan layak jual.
Dari sisi motivasi politik, itu sah-sah saja. Karena dengan begitu publik bisa beranggapan bahwa mesin kaderisasi partai politik berjalan dengan baik dan produktif. Namun dalam politik, terutama Pilkada itu tak cukup. Sebab politik, terutama bila dikontekskan dengan Pilkada, maka pola semacam itu justru serasa praktik bunuh diri sejak dini.
Bahkan meminjam ungkapan seorang teman yang sudah lama berkarir sebagai konsultan politik di berbagai Pilkada, “Kalau ada pencalonan pasangan hanya bersumber dari satu partai, itu sangat naif. Di sini sangat terlihat sikap egois yang menggejala. Merasa bahwa dengan sendiri pun pasti menang. Padahal itu serupa langkah bunuh diri sejak dini”.
Menelisik berbagai Pilkada yang sudah-sudah, dapat dipahami bahwa koalisi satu partai politik dengan partai politik lain saja belum tentu menang di Pilkada, apalah lagi tanpa koalisi, peluang menangnya sangat jauh. Pemenang Pileg atau penguasa suara di DPRD sekalipun belum tentu menang Pilkada, apalah lagi yang bukan pemenang Pileg, sangat jauh dari harapan.
Lalu, bagaimana bisa menang Pilkada kalau masih berasal dari satu partai politik? Sebagai warga biasa saya sekadar menegaskan satu hal kepada partai politik bahwa Pilkada itu adalah pesta kolektif. Pesta partai politik sekaligus pesta pemilih beragam selera. Bahkan dalam dimensi pemilihan (vote), penentunya adalah pemilih itu sendiri, bukan partai politik.
Dengan demikian, kalau pemilih “dikadali” dengan pasangan calon yang berasal dari satu partai politik, itu tidak akan bisa menambah jumlah suara. Bahkan bisa mengurangi jumlah suara yang seharusnya diperoleh. Apalah lagi tokoh yang diusung tidak populer dan justru memiliki kelemahan dalam banyak sisi, tentu tak layak jual dan takkan bisa memenangkan pertarungan.
Karena itu kita layak mempertanyakan, bagaimana mungkin bisa menang Pilkada manakala pola semacam itu masih dipraktikkan dalam pesta semacam ini? Apa motivasinya sehingga ada upaya paksa tanpa koalisi partai politik dalam menentukan bakal pasangan calon peserta Pilkada?
Pilkada adalah pesta bersama antar partai politik dan warga pemilih. Untuk itu, sebagai warga biasa saya menyarankan hal-hal yang lebih praktis dan bisa diperhatikan secara serius oleh partai politik.
Pertama, maksimalkan komunikasi lintas partai politik. Ya, di sini kuncinya adalah komunikasi politik. Elite partai politik mesti pandai berkomunikasi lintas partai politik. Dengan pola semacam ini, partai politik semakin matang dan memiliki peluang besar untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan bakal calon.
Kedua, partai politik perlu menimbang peta basis massa dan massa pemilih non basis massa. Setahu saya, tentu saja sangat sobjektif, di Mabar tak satu pun tokoh atau partai politik yang memiliki basis massa yang solid dan fanatik. Massa pemilih tak bisa dihitung dan dipetakan secara final. Sebab pada setiap Pilkada bahkan Pileg petanya terus berubah.
Ketiga, partai politik tidak egois. Sekali lagi, pesta politik terutama Pilkada adalah pesta bersama, bukan syukuran. Karena pesta, maka sikap politik yang egoistis tak punya ruangnya di sini. Tapi kalau masih dipaksakan, itu adalah sikap politik bunuh diri yang paling nyata tapi naif.
Keempat, partai politik mesti mencari titik temu. Saya kira tak ada perbedaan mendasar antar partai politik di Mabar. Semuanya punya tujuan baik. Dalam praktik politik pun relatif sama saja. Karena peluang untuk bisa bersua dalam titik temu tertentu sangat terbuka lebar.
Sebagai penegas, bagi partai politik yang hendak memenangi Pilkada Mabar 23 September 2020 mendatang, kita anjurkan untuk berkoalisi. Jangan kan bagi partai politik yang kursinya di DPRD masih sedikit, bagi partai politik yang dominan sekalipun, kita anjurkan untuk berkoalisi dengan partai politik lain. Singkatnya, kalau mau menang di Pilkada, berkoalisilah! Tapi kalau sekadar basa-basi alias hendak meraih kekalahan, egoislah alias silakan jalan sendiri-sendiri!
Sungguh, menang atau kalah dalam Pilkada adalah hal yang biasa dan wajar-wajar saja. Tapi prosesnya tetap perlu mengindahkan semangat kebersamaan atau kolektivisme. Wujudnya adalah koalisi partai politik itu sendiri. Lebih praktisnya lagi: pasangan yang diusung berasal dari koalisi partai politik, bukan dari satu partai politik. Sebab sekali lagi, Pilkada adalah pesta bersama. Bukan saja pesta partai politik pengusung tapi juga pesta warga pemilih yang memiliki beragam selera dan latar belakang. (*)
Cereng, Golo Sengang;
Sabtu 18 Januari 2020