Penulis : Irwansyah, SH., LL.M. (Dosen FH Univ. Muhammadiyah Kendari (UMK); Ketua Perkumpulan Intelektual Madani Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara)
“Kemajuan suatu negara tidak diukur dari banyaknya aturan yang dibuat, tetapi sejauhmana aturan tersebut mampu mensejahterakan rakyat”
Omnibus Law, gagasan baru yang disampaikan oleh Presiden Jokowi Widodo dalam sambutannya di depan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2019-2024,yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati hukum dan pemerintahan. Konsep hukum ini dipastikan akan menimbulkan perdebatan panjang, selain merupakan konsep baru dalam tradisi berhukum Indonesia juga akan berefek kepada relasi kekuasan baik secara vertical maupun horizontal. Sebagai pemerhati hukum dan pemerintahan, saya perlu mengurai keberpihakan berfikirdalam menyikapi omnibus law.
NKRI & Pembagian Kekuasaan
Dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita tidak mengenal negara dalam negara (state in the state) melainkan pembagian kekuasaan (distribution of power) yang diformat dalam bentuk otonomi daerah melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewidn). Sebagai negara kesatuan, maka peran dan dominasi pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan dan membuat regulasi pasti lebih besar. Termasuk menentukan kewenangan apa saja yang akan diberikan kepada pemerintah daerah (Pemda) provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Menyoal soal kewenangan pemerintah daerah tentu dapat ditelusuri di beberapa undang-undang terkait Pemda. Kita bisa cermati perjalanan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan terakhir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan telah dirubah melului Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka cukup jelas bagaimana pembuataturan (rule maker) tersebut membagi kewenangan bahkan mencabut kewenangan Pemda Kabupaten/Kota. Contohnya,urusan pendidikan tingkat SMA dialihkan ke Pemeritnah Provinsi begitupula dalam hal pertambangan dan energy. Artinya apa, bahwa pemeritantah pusat dapat mengatur lebih jauh terkait kewenangan pemda termasuk memangkas sebagian kewenangan pemda melalui omnibus law.
Omnibus Law: civil law atau common law
Omnibus law biasanya dijumpai di negara-negara yang menganut sistem common law, sehingga membentukan omnibus law di negara-negara penganut sistem civil law menjadi perbincangan yang masih asing. Pertanyaannya kemudian adalah apakah sistem hukum Indonesia saat ini sepenuhnya menerapkan civil law?.
Menurut hemat saya Indonesia tidak bisa “dipatok” sepenuhnya penganut sistem civil law karena dalam praktek berhukum selama ini yurispredensi menjadi salah satu sumber hukum yang notabennye bagian dari ciri sistem common law. Sehingga kehadiran omnibus law di Indonesia perlu disambut baik demi terciptanya tatanan berhukum yang lebih progresif dan humanis.Karena negara-negara yang menerapkan omnibus law seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru memiliki prestasi di aspek hukum dan atau pemerintahan.
Omnibus Law adalah harapan
Pada prinsipnya, omnibus law telah diterapkan dalam hal urusan pemilihan umum, terbukti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan penggabungan dari tiga (3) undang-undang yaitu (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Salah satu alasan bagi Presiden bersama dengan DPR menyatukan undang-undang tersebut adalah untuk menciptakan penyederhanaan regulasi sehingga pemilihan umum dapat berjalan efektif dan efisien. Menurut hemat saya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak aturan, tercatat kurang lebih 62 ribu regulasi, padahal kesuksesam suatu negara tidak dapat dilihat dari banyaknya regulasi yang dibuat tetapi seberapa efektif aturan tersebut dilaksanakan dan dipatuhi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat (walfare sociaty) dapat segera terwujud lebih cepat.
Lalu kenapa omnibus law menjadi “hangat” karena Presiden akan melakukan suatu loncatan revolusi hukum di bidang RUU Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah. Rencana perampingan hukum ini tentu akan berefek di sektor investasi dan perizinan.
Secara sederhana bahwa akan terjadi pencabutan kewenangan dan atau perubahan kewenangan di lembaga kekuasaan antara kementrian yang satu dengan kementrian yang lain atau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang paling terasa dampak dari RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Pemberdayaan UMKM adalah relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (distribution of power).
Sebagai masyarakat Indonesia, kita berharap omnibus law dapat memberikan solusi terhadap tumpang-tindihnya regulasi dan membantu tahapan singkronisasi dan harmonisasi hukum yang selama ini belum berjalan efektif, dan mengurangi Konstitusional Review di Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review di Mahkamah Agung. (***)