Penulis : Rais Syukur Timung
Di prancis sekitar 100 – 125 tahun silam, sebelum ada pemerintahan. Eropa masih dalam bentuk aristokrasi (berkuasa sendiri). Seorang raja pernah ditanya; Raja, apakah state itu?. Raja menjawab State adalah saya sendiri”.
jika hal ini diterjemahkan cepat-cepat maka semua perilaku raja dianggap perilaku negara, raja sendiri adalah aturan mutlak, jadi ada pemutlakan secara subjektifitas (raja) dalam kehidupan atau dalam sistem negara (Monarki).
Kehidupan negara-negara dizaman kegelapan eropa itu seakan-seakan hidup di indonesia dalam bentuk yang lain. Semua carut marut, kealpaan negara dalam beberapa soal yang fundamental: ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, tersembunyi atau disembunyikan dalam bangunan subjektifitas pemimpin yang begitu kokoh.
Sosok yang dibranding sedemikian rupa dan menjadi mutlak dalam persepsi publik tentangnya. Misal : ada anak SMK yang melakukan demonstrasi atas kebijakan rezim yang dianggap tidak relevan dengan apa yang dipelajari. Mengaku diintimidasi (disetrum) oleh oknum penyidik kepolisian untuk mengakui melempar batu. Kemudian, beberapa penangkapan akibat Mahasiswa-mahasiswa yang mengorganisir diri melawan kebijakan pemerintah yang sudah tidak memihak pada rakyat kecil. Atau Perampasan hak hidup yang dilakukan pengusaha yang bekerja sama dengan penguasa.
Tak jarang membawa aparat bersenjata, kadang-kadang preman. Salim Kancil contohnya, nyawannya hilang akibat protes terhadap hak hidupnya yang ingin dirampas. Berapa nyawa Aktivis WALHI yang hilang, akibat protes terhadap tambang, pengrusakan lingkungan, dan masih banyak yang lain.
Upaya untuk menciptakan dominasi sama halnya dengan memaksa semua orang berpendapat sama terhadap penguasa.
Semua yang berbeda dianggap bertabrakan. kritik yang terorganisir dilabeli anti pancasila, hingga dibubarkan dengan produk perundang-undang yang agak memaksa dan premature. Seolah-olah ada kegentingan yang memaksa. Perlawanan verbal dianggap hate speech terhadap pemerintah (penguasa), diancam bahkan dipidanakan.
Di zaman autokrasi eropa, ada kekuatan yang membentengi kerajaan. Pertama adalah kelompok ningrat (bangsawan) dan kedua adalah kelompok agamawan.
kaum agamawan inilah yang melegitimasi berdasarkan doktrin teologis terhadap praktek autokrasi eropa. Agama oleh para agamawan menjadi alat untuk mengabsolutisasikan perilaku raja dan pemerintahannya. jadi, titah raja selalu berimpresi absolut karena dianggap wakil Tuhan dibumi dalam bangunan doktrin teologi.
Jadi agama dan agamawan hilang daya kritisnya terhadap kekuasaan yang menyimpang.
Sama persis dengan kondisi indonesia saat ini, kekuasaan yang selalu mencari pembenaran dalam fatwa, dalam dalil yang diinterpretasi secara serampangan dan ambisius oleh sekolompok ormas. dalam bingkai itu, kelak pemimpin bisa saja dibikin Ma’sum (suci). Bebas dari dosa politik dan bernegara. Ada proses tukar tambah: materi dan fatwa agama.
Dulu Soviet, Era Stalin, juga seperti itu. Dia menyumbat mulut penantangnya dan memasukkannya ke goa. Stalin menginginkan persamaan pendapat, pembungkaman semua yang berbeda dengannya tetapi menggunakan kemasan persatuan.
Tapi, pada akhirnya kebenaran tetaplah terungkap. Siapapun tidak bisa mengatur orang berbicara. meski sebagai penguasa. Sebab, kita sudah memilih demokrasi sebagai sistem bernegara.
Setali tiga uang dengan Stalin. rezim Hitler yang Fasis pun demikian, ada Gestapo yang kerjanya mengintai dan menangkap orang-orang yang tidak sepaham dengan NAZI. Yang melawan, yang tak se-Ide adalah musuh. harus dihabisi karena dianggap tidak seirama dengan semangat yang dibangun oleh Hitler. Sebagai Polisi keamanan negara, Gestapo berusaha menangkal jaringan mata-mata atau orang yang dianggap berbahaya bagi negara.
Semuanya tentu dilakukan atas nama negara, sebab negara boleh mencurigai. Tapi pada akhirnya Rezim Hitler yang dibangun dari “Ras Unggul” itu kalah.
Kenapa Stalin dan Hitler melakukan itu?. Karena paranoid terhadap rakyatnya.
Persis sama yang dilakukan oleh Fir’aun ; Ia lalu membunuh bayi-bayi dalam riwayat.
Begitupun dengan beberapa Oknum penyidik yang memaksa Lutfi, anak SMK yang melakukan demonstrasi, terpaksa mengakui perbuatan yang dia tidak lakukan.
Rakyat yang pro status qou dianggap kawan, yang melawan dianggap musuh.
demikianlah tabiat Rezim Totaliter bekerja sejak dahulu bahkan masih subur hingga sekarang.
Dalam konteks ini, saya melihat ada gejala kediktatoran yang mulai dipraktekkan oleh rezim ini, meski belum cukup “mengganas”. Tapi jika dibiarkan maka akan menjadi “Trend” karena dianggap biasa-biasa saja.
Semua yang memimpin dengan tangan besi akan menghilang seiring perjalanan waktu. Siapapun dan sistem apapun yang digunakan. Saddam Tumbang, Khaddafi Dihabisi, Soeharto Turun, Pahlevi melarikan diri, Marcos berakhir.
Dari semua rentetan kejadian ini, faktornya kira-kira satu, yakni memposisikan Rakyat adalah Musuh, jika rakyat tidak lagi sepakat dengan keputusan penguasa. (***)