Opini : REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA “Menata Ulang Sistem Kebangsaan”

  • Whatsapp

Penulis : Surya Kencana
Presiden pertama RI Bung Karno pernah mencetuskan ide pemindahan ibukota RI ke pulau Kalimantan. Padahal saat itu beban Jakarta sebagai ibukota negara belum seberat saat ini yang diidentikkan dengan berbagai masalah sosial, potensi bencana alamnya relatif kecil, macet, banjir, dan lain sebagainya.

Artinya ketika itu Jakarta masih sangat terbuka untuk ditata menjadi ibukota negara yang modern sebagaimana layaknya kota yang berkelas Dunia yang tertata dengan rapi dan indah. Tentu ada alasan yang lebih jauh dan dalam lagi ketimbang alasan yang ramai dibahas dan dibicarakan orang saat ini.

Bung Karno adalah seorang pemimpin yang visioner, pemimpin yang dapat melihat jauh kedepan. Tidak gampang dan tidak mudah untuk mendapatkan pemimpin sebagaimana halnya Bung Karno. Tentu bukan berarti tidak ada, boleh jadi pemimpin yang sekelas, bahkan melebihi Bung Karno masih Tuhan simpan untuk dimunculkan pada saat dan waktu yang tepat

Memasuki fase kedua pemerintahan Presiden Jokowi, beliau melontarkan gagasan pemindahan ibukota negara ke pulau Kalimantan. Tepatnya ke daerah Panajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur. Daerah ini dipandang sangat cocok dengan berbagai alasan yang melatar belakanginya.

Pemindahan ibukota ini tidak pernah kita dengar dicetuskan pada periode pertama Pemerintahan Jokowi. Berbagai pro dan kontra langsung bermunculan ditengah masyrakat, mulai dari kaum awam, sampai kepada para cendekiawan dan ahli. Mereka sibuk dengan berbagai argumentasi subyektifnya masing-masing, disamping ada juga argumentasi yang bersifat netral dan obyektif

Dengan anggaran sebesar +/- 500 Triliun rupiah, rencana spektakuler ini terasa sebagai sebuah mimpi besar yang sangat berat untuk diwujudkan. Apalagi keuangan negara yang defisit ditengah-tengah kondisi perekonomian dunia yang diambang krisis oleh akibat adanya perang dagang antara Amerika dengan Tiongkok.

Namun demikian rupanya Presiden Jokowi tidak main-main dengan rencana besar ini, beberapa orang tokoh dunia turut dilibatkan dalam rencana pemindahan ibukota. Beliau tidak peduli dan ambil pusing berbagai komentar miring yang menghujat rencana setengah gila ini. Bagi Jokowi mimpi besar yang digaungkan sejak era Bung Karno ini sangat mungkin diwujudkan, tidak ada yang mustahil menurut tokoh bangsa yang kerempeng ini.

Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, mungkin pepatah ini yang sedang dijalankan oleh Jokowi. Sebagai bentuk keseriusannya, berbagai bentuk perencanaan dan pelaksanaannya sudah hampir rampung disiapkan, termasuk sistem penganggarannya sudah disiapkan dengan matang

Memang betul kata orang, untuk mendobrak sesuatu yang dilihat tidak mungkin, dibutuhkan sebuah langkah yang sangat berani. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang setengah gila. Dan sepertinya Jokowi termasuk kedalam karakter pemimpin yang setengah gila, Jokowi mungkin berfikir, kalau tidak sekarang kapan lagi, harus ada orang yang memulainya.

Seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan, harus berani mengambil resiko walaupun pahit sekalipun. Tidak takut dan khawatir untuk dicela dan dihujat sekalipun. Seorang pemimpin tidak boleh mencari aman, pengen dilihat baik oleh masyarakatnya, hal hasil pekerjaannya selalu membuat senang rakyatnya. Walaupun hal tersebut dimasa mendatang dapat menjerumuskan rakyatnya.

Seorang pemimpin pada hakekatnya adalah Wakil Tuhan di Bumi, seluruh tindak-tanduknya dalam memimpin senantiasa dalam penglihatan dan pengawasan Tuhan. Sehingga pada akhirnya Tuhan sendirilah melalui proses sunnatullah-Nya yang akan menjatuhkan dan menghukum jika pemimpin tersebut berbuat durhaka dan berbuat salah. Karena semua negara, dan semua bangsa, dapat berdiri dan hidup atas ijin dan restu dari Tuhan Semesta Alam.

Tuhanlah sejatinya yang menjadi Raja di-Alam Semesta ini, dan sebagai Raja, sudah barang tentu Dia senantiasa menjaga dan memperhatikan segala perbuatan yang diperbuat oleh raja-raja kecil yang berkuasa didalam Kerajaan-Nya. Oleh sebab itu sebagai masyarakat dan rakyat, kewajiban kita hanyalah patuh dan taat terhadap semua hukum yang berlaku ditempat kita berdiam.

Sebuah negara dapat kita alegoriskan dengan tubuh kita sendiri, kepala dengan otak didalamnya melambangkan seorang pemimpin. Sedangkan segenap organ tubuh kita yang lain merupakan alat kelengkapan yang mendukung keberlangsungan hidup dan kehidupan. Anggota tubuh yang lain seperti tangan dan kaki misalnya, baru akan bergerak setelah diperintahkan oleh otak yang ada dalam kepala.

Hal hasil tubuh kita bergerak dan beraktivitas secara simultan, terorganisir secara rapi. Tidak ada tangan dan kaki yang bergerak sendiri tanpa se-izin otak. Kalau kita temui ada anggota tubuh yang bergerak, atau melakukan aktivitas yang berlawanan dengan otak, berarti sebuah pertanda adanya sebuah penyakit. Maka sistem imun dalam tubuh akan meresponnya dengan mengembalikannya kepada mekanisme yang semestinya.

Sekiranya terjadi kerusakan sistem yang akut dalam tubuh kita, pasti akan merusak berbagai kerja subsistem yang lain. Dan jika sekiranya sistem imun dalam tubuh tidak dapat mengatasinya, tentu diperlukan bantuan pendukung dari luar tubuh kita, yaitu pertolongan dari dokter. Sekiranya tetap tidak dapat lagi diatasi, dapat kita pastikan bahwa tubuh kita akan menjadi “almarhum atau almarhumah”.

Dalam sistem ke-tatanegaraan yang benar”, Presiden atau Raja misalnya adalah pemimpin eksekutif tertinggi, yang kemudian dilengkapi dengan berbagai lembaga pendukungnya, baik sebagai pembantu maupun sebagai penyeimbang. Semuanya bekerja berdasarkan tupoksinya masing-masing yang sudah ada mekanisme dan aturan mainnya.

Semua perangkat kerja harus bergerak satu langkah dan satu irama dengan pemimpin tertinggi, tentu dengan sebuah tujuan yang sama, yaitu terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bersama dalam sebuah bangsa secara adil dan bermartabat untuk seluruh penduduk negeri tanpa terkecuali. Untuk tujuan itulah negara dibuat oleh para The Founding Father (pendiri bangsa).

Dan jika kita mau berkaca dan melihat kondisi bangsa kita saat ini secara jujur. Coba perhatikan misalnya “Otonomi Daerah”, berdalih otonomi daerah, seorang Gubernur bisa saja membangkang kepada Pemerintah Pusat diatasnya. Hal hasil program kerjanya boleh jadi berseberangan, bahkan bertentangan dengan program Pemerintah Pusat, bahkan bisa jadi menganulir kebijakan Pemerintah Pusat didaerahnya.

Begitupun dengan pemerintahan “Bupati-Walikota”, berdalih otonomi daerah, seorang Bupati/Walikota seringkali dalam tugas pemerintahannya tidak berkoordinasi dengan pemerintahan Gubernur diatasnya. Tidak jarang para Bupati/Walikota lebih berkuasa ketimbang seorang Gubernur, padahal Gubernur adalah pemerintahan diatasnya, aneh bukan?.

Banyak hal dari sistem ketatanegaraan kita yang kacau-balau, sekiranya hal ini tidak diperbaiki dan diluruskan untuk kembali kepada sistem yang benar “PANCASILA”. Maka tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia mustahil untuk bisa dicapai.

Dengan berbagai kajian dan pertimbangan, tentu bangsa besar ini harus diselamatkan, harus ada orang yang berani untuk memperbaiki bangsa yang sedang sakit cukup parah ini. Sosok yang paling tepat dan memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukannya, tidak lain adalah “SEORANG PRESIDEN”.

Dalam sebuah lirik lagu “Kebangsaan Indonesia Raya” tertulis demikian “BANGUNLAH JIWANYA, BANGUNLAH BADANNYA !”.

Pemindahan ibukota baru merupakan pembangunan “PHISIK BANGSA”, dan tidak kalah pentingnya adalah “PEMBANGUNAN KARAKTER ANAK BANGSA!”. Begitulah yang “DISYARATKAN OLEH LIRIK INDONESIA RAYA”, dan hal ini tidak boleh dianggap enteng oleh Presiden Jokowi.

Sebagai seorang rakyat kecil, saya sangat berharap, dan meminta kepada Presiden untuk betul-betul memperhatikan hal ini. Jika diabaikan, niat baik bapak Presiden tentu akan peroleh malapetaka yang boleh jadi akan merobohkan bangsa ini.

Momentum untuk membangun “JIWA ATAU KARAKTER ANAK BANGSA” terbuka lebar dengan rencana pemindahan Ibukota Negara. Sudah barang tentu akan terjadi pemindahan para pegawai negara dalam jumlah yang sangat besar nantinya ketempat yang baru, terutama pegawai negara tingkat pusat.

Harus ada persyaratan yang ketat bagi mereka yang dipindahkan, mereka harus memiliki karakter yang baik dan benar. Mental lama sebagai bos, harus dirobah menjadi mental pelayan bagi rakyatnya. Mental koruptif harus dirubah dengan pola hidup yang sederhana, tidak suka pamer kemewahan dan hidup hedonis.

Bangsa ini butuh keteladanan dan contoh yang baik, dan yang harus mencontohkan itu adalah para pemimpin bangsa, sedangkan rakyat pada akhirnya akan mengikuti saja, karena tidak ada alasan lagi untuk tidak patuh dan taat kepada pemimpin serta negara.

Para pejabat negara harus memiliki wawasan kebangsaan yang luas, memahami nilai-nilai Spiritual yang mumpuni. Tidak terjebak kepada paham sektarian Kesukuan, Agama, Ras serta Golongan, sehingga membuat mereka betul-betul sebagai Aparat Negara yang independen dan obyektif dalam berfikir, bersikap dan bertindak.

Para pejabat negara harus berwawasan luas, dan memahami dengan benar nilai-nilai luhur yang termaktub dan terkandung dalam setiap sila dari “PANCASILA” sebagai warisan luhur bangsa, yang merupakan anugerah yang tidak ternilai dari “TUHAN SEMESTA ALAM”.

Banyak hal yang harus dituliskan dalam tulisan ini, tapi mengingat keterbatasan cukup sekian dulu. Kalau terlalu panjang boleh jadi tidak sempat terbaca nantinya. Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan mengutip sebuah kisah dari perjalanan Musa, ketika membawa Bani Israel menuju tanah perjanjian. Tanah yang Tuhan janjikan kepada nenek moyangnya, Nabi Ibrahim.

Ulangan 34 ayat 4 :
“Dan berfirmanlah TUHAN kepadanya: “Inilah negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; demikian: Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu. Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana”.

Semoga bangsa besar ini dapat melaksanakan dan mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa yang benar-benar merdeka dari tangan penjajahan, baik penjajahan oleh Negara Barat, oleh Negara Timur, dan tentu dari penjajahan negara timur-tengah, atau bangsa Arab. (***)

Pos terkait