Penulis : Rais Syukur Timung
Robert Klitgard, mengatakan korupsi adalah kombinasi antara monopoli kekuasaan, didukung oleh kesewenangan-wenang membuat keputusan namun minim pertanggung jawaban. Senada denga hal itu, Bangsawan inggris bernama Lord Acton sangat terkenal dengan kalimat pendeknya, yang berujar “kekuasaan cenderung korup”. Diktum ini bukan saja relevan, tetapi juga ingin menyadarkan kita bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan oleh penguasa. Sementara, Steven Lukes memahami kekuasaan sebagai kemampuan memproduksi pengaruh dan kekayaan.
Keakutan mental korup dihampir semua entitas bangsa ini terutama pemimpin, birokrasi dan pejabat publik kita yang paling terpapar. Padahal gema reformasi adalah penanda matinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme bersama rezim otoritarianisme orba.
Faktanya, kita kini berada pada fase “Feodemokrasi”. Bentuk dan tata kelolanya adalah demokrasi. Tetapi, mental dan pelakunya masih seperti raja-raja di masa lalu-feodalistik.
Lingkaran iblis ini masih dan sedang berlansung, Uniknya lagi adalah banyak mantan aktivis didalamnya dan mereka bergembira.
Reformasi birokrasi yang mereka teriakkan 20 tahun silam adalah omong kosong. Jokowi datang dengan revolusi mental yang kehilangan gemannya. Sebab sidak praktek kolusi dan nepotisme berakhir di landscape kamera bahkan OTT KPK dinilai tak efektif.
Tak ingatkah mereka bahwa dalam Islam, kehalalan pendapatan mesti terverifikasi dari prosesnya. Prosesnya mungkar, dibuat apapun, sifat hartanya tetap tidak halal, begitu terminologi fiqih.
Lucunya, hal yang demikian dianggap lampiran hidup yang tidak penting diurus, yang pasti hasilnya banyak untuk di nikmati. Padahal peradaban terendah manusia adalah menguyah harta lewat jalur gelap.
Untuk itu, kita sejenak bertamasya pada sejarah, menyerap nilai yang menubuh pada pribadi pemimpin, pejabat publik dan politisi kita dahulu yang telah mengukir kegemilangan sebuah era dengan tinta emas.
Soekarno mislanya, dalam Cyndia Adams, penulis Biografinya menuturkan, “Simpanlah uangmu pada bung Karno, yakinlah uangmu tidak akan berkurang. Sebab kekayaan bagi bung Karno tidak begitu penting. Rakyat indonesia tau bahwa Bung Karno tidak akan tergiur dengan Uang”.
Tidak hanya itu, pengakuan Pardede, orang yang sangat dekat dengan Bung Karno yang melihat kenyataan bahwa betapa Getir dan mengharu birunya kehidupan perekonomian seorang Bung Karno bahkan pernah di todong oleh Bung Karno untuk dipinjamkan uang. Atau tentang Putu Sugiantiri, ajudan terakhir Bung Karno yang terpaksa harus membayarkan buah rambutan karena Si Poetra Fajar tak memiliki Uang.
Ataukah tentang kesaksian Ali Sadikin, saat menjabat sebagai Menko Maritim, ditanya oleh Bung Karno : apakah bisa membantu bisnis mertua saya (Bung Karno) tentang perjanjian sebuah pelabuhan. Tetapi Ali Sadikin mengatakan ‘Ttdak bisa’ sebab peraturannya sudah demikian. Kata, Bung Karno, Ya sudah jika demikian. Hal itu tidak membuat Bung Karno marah dan dendam, sebab kelak Ia mengangkat Mayjen KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.
Apa yang tidak bisa Si Poetra Fajar itu lakukan atas nama seorang Presiden, atas nama pendiri bangsa Ini. Atas nama orang yang berjasa besar untuk hadir dan berdirinya bangsa ini. Tetapi, Ia tak lakukan karena harga diri, moralitas dan Integritasnya lebih mahal dari uang yang bergambar dirinya.
Hatta misalnya, ketika menjabat sebagai Wakil Presiden sampai pensiun sebagai Wakil Presiden tidak mampu membeli sepatu bermerek Bally hanya karena tidak memiliki uang. Uang pensiunan sebagai Wakil Presiden dan uang dari hasil menulis kolom diberbagai media, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Tidak hanya itu, kesaksiaan Ali Sadikin, mantan Gubernur Jakarta yang dibikin tercengang oleh Si Poetra Subuh ini karena meminta pemotongan tunggakan listrik yang menunggak akibat terkuras dengan biaya sekolah anak-anaknya.
Di akhir hayatnya, Hatta memang tidak meninggalkan uang yang banyak dan kehidupan yang Glamor. Hidupnya lebih banyak berkisah tentang pergulatan Ideologis, Kesederhanaan hidup dan kisah kehidupan yang kadang membuat mata kita sabak.
Jika saja Hatta mau, semua bisa ia lakukan atas nama pendiri Negeri ini. Tetapi ajaibnya ia bisa mengontrol kuasannya saat berada dipuncak kekuasaan.
Haji Agus Salim misalnya : menurut tokoh Muhammadiyah, Kasam Singodimedjo, dalam buku “seratus Tahun Haji Agus Salim”, menilai kepribadian HAS adalah manusia pintar asal minang ini sebagai manusia cerdas. Hebat diplomasi, mentor Soekarno tentang kebijakan luar negeri. Ia memiliki banyak kelebihan. Salah satunya menguasai dan mampu menulis dengan 8 bahasa yang berbeda. Tetapi ia punya kelemahan. Kelemahannya adalah hidupnya “Melarat”. Pindah dari satu gang banjir ke gang buntu.
Atau tentang DN. Aidit : orang Kaya, Tanah dan sawahnya sejauh mata memandang dikampungnya. Tetapi memilih melarat demi membesarkan partainya, demi terwujudnya masayarakat yang berkeadilan. Seorang politisi yang berani menggebrak konflik politik agraria : ” 1 orang tani, 1 hektar sawah”. Ia bahkan pernah mengepung pangkalan kapal asing dengan gerakan rakyat hingga membuat asing ketakutan dan membuat Bung Karno pusing. Aidit sangat membenci korupsi serperti, dalam Jargon terkenalnya “ancurkan 3 setan desa dan 7 setan kota”. Juga kritikannya pada politisi yang acap berbisnis wewenang dalam menjual kekuasannya pada cukong dengan Istilah kapitalisasi birokrat.
Mungkin mereka terlalu berjarak waktu karena digenerasi silam. Maka kita maju sedikit pada Sosok Baharuddin Lopa, pernah hidup digenerasi kita, kisah hidupnya sangat Inspiratif dan mengharu biru. Tentang bagaimana seharusnya seseorang ketika seseorang memiliki jabatan dan kewenangan yang besar.
Lopa dikenal amat bersahaja. Selain dari gaji, penghasilannya sebagai Jaksa Agung dipakai untuk membuka warung telekomunikasi (wartel) dengan lima bilik dan penyewaan PS (Playstation) disamping rumahnya, di Pondok Bambu, Jakarta. Ia juga rajin menulis kolom diberbagai majalah dan harian. Terang-terangan dia akui itu untuk menambah penghasilan dari keringatnya sendiri. Honor ratusan ribu rupiah dari menulis kolom inilah yang dia andalkan untuk memperbaiki ini dan itu dirumahnya.
Atau Kisah penuturan Pengusaha Yusuf Kalla yang dua kali menjadi Wakil Presiden, menujukkan kejujuran, integritas dan moralitas seorang Baharudin Lopa, mantan Jaksa Agung Republik Indonesia, yang membuat mata kita berair kala mengenang perjalanannya sebagai seorang Jaksa yang tanpa pandang bulu.
Pemimpin-pemimpin besar dulu berkesempatan bergelimang harta karena memiliki kewenangan yang besar dan dengan kewenangan itu bisa dipakai untuk hidup mewah. Tapi, mereka tidak melakukannya.
Keraguan kita pada pemimpin dan pejabat publik kita yang bermental korup ini, diperparah dengan data yang disampaikkan ICW : sepanjang Tahun 2004-2018, sebanyak 104 Kepala Daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi dan dipidanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Paling banyak terjerat kasus korupsi adalah Kepala Daerah ditahun 2018 yakni berjumlah 29 Kepala Daerah. Kerugian negara akibat korupsi pada 2018, ditaksir mencapai Rp. 9, 29 T.
Itu belum ditambah dengan kerugian negara akibat korupsi mega proyek seperti; Hambalang, E-KTP, BLBI, Kotawaringin Timur, Pelindo II, Bank Century, dan yang merebak belakangan adalah Jiwasraya serta kasus korupsi yang melibatkan Komisioner KPU dan Asabri.
Apakah kita telah benar-benar kehilangan jati diri, kehilangan nilai, kehilangan orisinalitas berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat adil makmur. Ataukah pejabat, politisi, pemimpin dan penguasa kita harus melarat agar bisa dikenang sejarah?.
Apakah konsep melarat menjadi magnet?.
Bagi saya, bukan disitu maknanya. Makna melaratnya pemimpin besar, politisi dan pejabat kita dulu terletak dalam pernyataan mantan orang nomor satu India, Pandit Jawaharlal Nehru : ” kebesaran bukan terletak pada jiwa demokratisnya seseorang, bukan juga karena ia berasal dari keluarga aristokrat-terpelajar. Kebesaran adalah bahwa kesempatan untuk menyeleweng yang ada padannya, Ia kontrol sekecang-kencangnya.
Begitulah pemimpin kita dahulu, mereka seumpama matahari. Janji matahari bukan hanya terbit, terbenam pun meninggalkan kesan yang sangat indah.
Bertamasyalah pada kisah klasik pemikir-pemikir besar, pemimpin-pemimpin besar Bangsa ini dahulu. sebab selalu ada secercah nilai yang menubuh dan menyejarah dan tak akan pernah lekang oleh waktu.
Makassar, 31 Januari 2020








