Penulis : Rais Syukur Timung (Pena Nalar Pinggiran)
Kematian adalah Natural Law (Hukum Sunnatullah) yang tidak dapat dihindari oleh semua makhluk yang bernafas. Pun asbab kematian itu beragam, namun dibalik setiap sebab itu adalah Hukum Sunnatullah.
Kematian adalah sebuah proses evolusi menuju kesempurnaan, Demikian Guman Prof Quraish shihab : kematian adalah asal usul semua agama. Dengan kematian manusia mengenal Robbnya. Kematian bukanlah akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebuah etape menggandrungi kehidupan yang sesungguhnya.
Socrates sebagaimana di introdusir oleh As-Syarasythani mengatakan : Ketika aku meneliti tentang kehidupan, aku temukan maut. Ketika aku meneliti maut, yang kutemukan adalah kehidupan yang abadi.
Tidak ada yang benar-benar tabah atas kehilangan, siapapun dia. Jika fenomena kematian hanya dianggap sekedar fenomena belaka. Akhirnya tidak ada ibrah yang bisa ditimba disitu. Memang betul, semua fenomena yang ada dialam semesta memuat prasyarat kausalitas. Sehingga kalau kita mendedah dibalik sebab, masih ada sebab yang menjadi illatnya. Dan tidak mungkin sebab menjadi akibat dari sebab lain tanpa ada sebab awal.
Para pelakon politik selalu muncul di setiap masa. Mereka adalah figur-figur yang menjadi panutan bagi masyarakat luas. Bahkan lebih dari itu semua, tidak sedikit tokoh politik memiliki massa yang fanatik, sehingga apapun yang dikatakan oleh seorang figur seakan menjadi kredo bagi pendukungnya dan perbuatannya menjadi panutan. Seperti Adagium : “Langit itu biru, tetapi jika Tuan mengatakan Langit itu hitam maka saya percaya Tuan”.
Agama dan politik bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari satu ibu, begitu Petuah Imam Al-Ghazali. Bahkan Al-Ghazali melihat bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Posisi politik adalah perajut antar satu manusia dan lainnya, mengatur tata cara hidup perorangan, berkomunitas, dan bernegara. Tetapi harus ada penegasan bahwa pembetukan itu, tidak hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan praktis duniawi melainkan harus menjadi jembatan bagi kehidupan setelah kematian (Iqbal & Nasution, “Pemikiran Politik Islam”, jakarta, 2013).
Bagi Al-Ghazali, keberadaan seorang pemimpin atau politikus, tidak hanya dipilih berdasarkan rasio dan pertimbangam keduniawian melainkan harus lebih dominan pertimbangan akhirat, sebab kesejahteraan dunia dan kebahagian akhirat tidak akan tercapai tanpa penghayatan dan pengamalan nilai-nilain keagamaan. Al-Ghazali bahkan menilai politisi itu menempati posisi yang sangat penting dan strategis, hanya ada setingkat dibawah kenabian.
Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan pemimpinnya, dan kerusakan pemimpin disebabkan oleh kerusakan ulama. Kerusakan ulama disebabkan cinta harta dan jabatan. Siapa yang dikuasai ambisi dunia tidak mampu mengurus rakyat kecil, begitu pesan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
Posisi politikus memang mulia, jika berada pada Jalur yang benar, maka ia layak mendapat derajat satu tingkat dibawah Nabi. Kenapa?, karena mereka menjaga ummat manusia dari permusuhan antar sesama, menjaga kemashlahatan ummat manusia dan menunjukkan kepribadian yang sahaja dan sederhana.
Kepergian seorang kader masa depan Partai Gerindra Sulawesi Tengah Angkatan ke-7 pada peristiwa kecelakaan di Sulawesi Tengah menghentak keharuan keluarga, kerabat dan politisi Abdul Karim Al-Jufri sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulteng yang juga sebagai Ketua Fraksi Gerindra.
Siang (11/2/2020), Abdul Karim Al-Jufri bersama rombongan dari Partai Gerindra mendatangi kediaman Almarhum yang dikenal dekat dengan Abdul Karim. Dalam suasana yang mengharu biru atas berpulangnya kader muda masa depan Gerindra, kita bisa mendedah kesederhanaan seorang politisi dari hal-hal kecil. Sebab Bangsa ini telah lama kehilangan figur yang menjadi panutan.
Memang bukan perkara biasa seorang Anggota DPRD mengangkat keranda mayat yang merupakan salah satu kader partainnya. Namun ini soal Ibrah, soal hikmah, ini soal pengamalan nilai keagamaan yang tekah menjadi kredo bagi Abdul Karim bahwa nilai keagamaan dan etika politik tidak berada dilangit, ia sepantasnya dibumikan. sebagaimana yang disampaikkan Al-Ghazali di atas, politisi itu menempati posisi yang mulai jika berada pada jalur yang benar dan kita bisa timba dari identitas yang Ia tunjukkan sebagai panutan bahwa ditengah pergeseran etika politik karena hilangnya keikhlasan dalam memperjuangkan rakyat. Sudah sangat jarang kita menemukan ada legislator di DPRD yang melepaskan identintas dirinya atas nama kemanusiaan Ia memapah keranda mayat anggota partainnya.
Bukan demi mengejar prestise, sebab ia sudah memiliki, tetapi lebih kepada sistem nilai yang hendak Abdul Karim tunjukkan bahwa harapan pada figur panutan masih ada. (***)








