Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Mencintai Politik”
KAMPUNG Cereng, adalah kampung asal saya. Walau tergolong jauh dari jalan aspal, listrik PLN dan air PDAM, dari kampung yang masuk Desa Golo Sengang dan Kecamatan Sano Nggoang inilah saya kerap merenung dan meneropong soal urusan publik. Saya tentu bukan pejabat publik yang semestinya melakukan ini. Namun demikian, saya menyadari betul bahwa berkontribusi itu tak selalu di saat menjadi pejabat publik. Melakukan edukasi publik secara sederhana pun adalah kontribusi. Tentu dalam bingkai kemampuan dan konteksnya.
Salah satu aspek yang akhir-akhir ini saya gulati adalah soal Pilkada Serentak 23 September 2020 yang segera menjelang. Manggarai Barat atau Mabar sendiri adalah satu (1) diantara sembilan (9) daerah di NTT yang menyelenggarakan Pilkada tahun ini. Sebagai warga biasa saya tentu boleh merespon setiap fenomena dan dinamika politik di berbagai daerah, termasuk apa yang terjadi dalam kancah perpolitikan Mabar beberapa waktu terakhir.
Begini, Pilkada Serentak hangatnya sudah mulai terasa. Hiruk pikuk politik yang melingkupinya sudah kita rasakan dan saksikan akhir-akhir ini, termasuk yang diberitakan oleh bebagai media massa juga pemberitaan online. Pejabat publik, elite partai politik, penyelenggara pemilu (Pilkada) dan berbagai elemen terkait pun sudah memperlihatkan kepada kita bagaimana agenda tersebut akan dihelat.
Salah satu hal penting yang kerap dilupakan dalam diskusi publik dan obrolan di berbagai group media sosial adalah perihal moralitas pejabat publik. Padahal hal ini sangat menentukan nasib rakyat, daerah bangsa dan negara beberapa tahun berikutnya. Tulisan ini sekadar membantu menyadarkan dan mengingatkan ingatan kolektif kita agar tidak terjebak terus menerus dalam kubangan berbahaya: pejabat publik tak bermoral.
Kalau diperhatikan, akhir-akhir ini ada kecenderungan sikap batin rakyat hampir seragam sebagai kesan negatif terhadap pejabat publik yang belakangan ini menyeruak. Kecenderungan tersebut berkenaan dengan perasaan trauma dan kekhawatiran mereka untuk sekadar dijadikan kuda tunggangan politik. Data mengenai sikap batin rakyat ini dapat dijumpai di berbagai momentum pertemuan dan pemberitaan media massa, misalnya, mengenai respon publik terhadap pejabat publik dan elite politik.
Diantara persoalan krusial yang kerap menjadi keluhan dan kekhawatiran adalah janji-janji pejabat publik dan elite politik untuk memperhatikan aspirasi dan kebutuhan mereka. Janji-janji politik itu disumbar untuk sekadar meraih simpati. Meski nyatanya, setelah duduk di kursi jabatan, para pejabat publik itu enggan memenuhinya alias ingkar janji.
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa rakyat sudah tersadarkan dan tercerdaskan tentang hak dan kewajibannya; sementara pejabat publik semakin tidak mau tahu bahkan ingkar terhadap janji atau khianat terhadap mandat rakyat-pemilihnya. Sederhananya, rakyat semakin berpijak pada moral etis, sementara pejabat publik menepikan moralitas.
Yang dimaksud moralitas pejabat publik pada tulisan ini adalah komitmen pejabat publik untuk merealisasikan janji-janji politiknya di saat menjabat, di samping kerja keras pejabat publik untuk memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan konstituen politiknya. Dengan kata lain, kesediaan pejabat publik untuk senantiasa melayani dan mendengarkan pendapat dan fakta masalah-masalah yang disampaikan rakyatnya. Sederhananya, moralitas pejabat publik adalah sikap bermoral pejabat publik. Jadi, pejabat publik yang mampu bersikap semacam itu adalah pejabat publik yang bermoral. Sementara yang tidak melakukannya adalah pejabat publik yang tak bermoral.
Kaca bening pengalaman politik kita pada berbagai pesta politik, bisa dijadikan takaran untuk mengukur berapa jauh para pejabat publik melaksanakan moralitas jabatan publik yang diembannya. Pada momentum itu kita bisa mencatat janji politik yang disuarakan oleh calon pejabat publik. Janji politik tersebut diantaranya kesedian membela rakyat kecil, menghadirkan rasa aman, menyediakan lapangan kerja, menghilangkan pengangguran, mengutamakan tenaga kerja lokal, peningkatan kesejahteraan, memberantas korupsi, penegakan hukum, pemenuhan infrastruktur tranportasi, ketersediaan air minum, pengelolaan sampah, menghadirkan Perda kelokalan dan masih banyak lagi yang lainnya.
Faktanya, di banyak daerah (propinsi, kabupaten dan kota) sangat jauh dari apa yang dijanjikan. Tulisan ini tidak perlu menyebut secara gamplang perihal faktanya dalam kehidupan sosial kita. Berbagai media massa dan dokumen hasil kajian berbagai lembaga independen yang dapat diakses secara gratis adalah saksi akurat yang memperlihatkan fakta ril hal semacam itu. Bisa jadi ada pro-kontra, namun dokumen semacam itu layak dijadikan rujukan sebagai parameter evaluasi.
Pejabat publik di berbagai lini kerap hanya menebar citra dan menghibur rakyat dengan senyuman palsu, bagai sinetron yang sejatinya tak layak ditonton. Dalam konteks lokal, tak sedikit pejabat publik yang begitu busa memamerkan diri sebagai pejabat yang sukses dalam memimpin (di legislatif atau eksekutif) padahal rakyat justru merasakan hal yang sebaliknya. Tapi kondisi ril rakyat yang kontras dari pencitraan semacam itu justru dibalas dengan pamer penghargaan yang jauh dari realitas kehidupan rakyat.
Coba cek data pengangguran dan data kemiskinan, hampir semua pejabat publik di berbagai lini dari pusat hingga daerah, selalu memamerkan data bertema sudah menurun presentasenya. Padahal data semacam itu sengaja dielaborasi sedemikian rupa demi kepentingan sekaligus statistik politik menjelang pesta politik, termasuk Pilkada Serentak. Namun itu tak cukup. Pejabat publik juga kerap menebar citra sebagai pemimpin pro rakyat padahal sekadar pencitraan. Janji politik pada Pileg lalu pun, misalnya, belum juga dipenuhi, tapi sudah mulai meraba jabatan lain. Coba deteksi saja, apa yang sudah dilakukan oleh DPRD Mabar beberapa bulan ini?
Media massa yang mestinya menjadi instrumen penyeimbang antara ketidaknormalan pejabat publik dan ketulusan rakyat justru kerap menjadi penyokong agenda pencitraan pejabat publik. Media massa kerap hanya mencitrakan pejabat publik sebagai pemimpin ideal yang melampaui batas kewajaran, bahkan kerap tak mengakumulasi suara rakyat secara cerdas. Semua citra pun dimonopoli dan dimanipulasi demi kepentingan pejabat publik, bukan kepentingan rakyat banyak. Benar-benar era publikasi asal bapak senang, alias ABS.
Dalam konteks Manggarai Barat atau Mabar, kita tetap menjaga optimisme bahwa Pilkada kali ini mampu melakukan seleksi secara maksimal siapa yang akan memimpin Mabar periode 2020-2024 nanti. Termasuk dengan cara mengawal dan menjaga kualitas Pilkada kali ini dari berbagai aspeknya, dari pra dan ketika hingga setelahnya. Sebab inilah momentum penting yang menentukan siapa pejabat publik atau Kepala Daerah (Bupati/Wakil Bupati) yang akan menjadi penentu kebijakan publik beberapa tahun berikutnya. Kita perlu memilih pemimpin kita yang bermoral, yaitu mereka yang berkomitmen dengan janji politik dan bukan mereka yang pandai beringkar janji. Mereka yang ingkar janji, silakan minggir! []








