Opini : Revolusi Mental Anak Bangsa “Perang Asimetris, Demokrasi dan Covid 19”

  • Whatsapp

Penulis ; Surya Kencana
(Pemerhati Sosial dan Politik)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia dikuasai oleh negara-negara besar atau negara super power. Mereka menguasai hampir semua lembaga-lembaga besar dunia yang memiliki serta mempunyai kewenangan untuk membuat berbagai keputusan penting, yang dapat menentukan arah serta garis kebijakan untuk mendikte negara-negara di dunia.

Sebutlah negara kuat tersebut Amerika Serikat dan Inggris dengan sekutu baratnya. Disisi lain, Rusia dan China dengan sekutu timurnya. Kedua kekuatan ini ibarat magnet yang menarik negara lain untuk mendekat dan menempel menjadi bagian dari kekuatan pengaruhnya. Dalam proses tarik-menarik ini sudah barang tentu segala taktik dan strategi mereka pergunakan guna menanamkan dan menancapkan pengaruhnya.

Metode atau cara yang mereka tempuh mulai dengan cara halus hingga aksi militer untuk menekan dan menguasai. Negara-negara yang menjadi sasaran utama dalam perebutan pengaruh ini, tentulah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Sebutlah negara Timur Tengah yang kaya akan energi atau minyaknya.

Beberapa negara diberbagai belahan dunia sudah jatuh bertumbangan karena pemimpinnya dinilai membangkang, tidak mau dikuasai, minimal kooperatif dan mau bekerjasama untuk kepentingan negara super power tersebut. Irak, Libya, Mesir dan Suriah adalah beberapa contoh kasus diantara negara lainnya.

Setelah suatu negara dikuasai, mereka akan mengangkat atau mendukung pemimpin bonekanya yang akan mengamankan dan memuluskan jalan bagi penguasaan sumber daya alamnya. Seiring terjadinya berbagai krisis keuangan diberbagai belahan dunia, perang dengan menggunakan teknologi canggih mulai dilirik dan menjadi pilihan utama.

Sesuatu yang sangat wajar, karena biaya perang konvensional sangatlah besar, karena harus mengeluarkan berbagai senjata canggih yang mahal. Belum lagi kerugian jiwa prajurit yang gugur, biaya pengobatan prajurit yang luka dan cacat. Santunan atau jaminan hidup bagi anggota keluarga prajurit yang gugur.

Kerugian ekonomi tidak langsung yang timbul oleh karena adanya perang. Ditambah dengan berbagai kerusakan infrastruktur di negara sasaran, seperti bangunan, jembatan, obyek-obyek penting dan vital. Kesemuanya itu juga memerlukan dana besar untuk merehabilitasinya, agar dapat digunakan kembali.

Tidak cukup sampai disitu saja, biaya rekonstruksi kehidupan sosial masyarakat akibat perang juga akan menjadi permasalahan sendiri. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, maka mulai dipikirkan perang dalam bentuk lain. Kita mengenal perang ini dengan ” PERANG ASIMETRIS“, yaitu perang non konvensional dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai kekuatan penghancur negara sasaran.

Cukup banyak artikel yang menulis perihal perang asimetris ini. Biasanya sasaran yang dituju diantaranya ;

1). Melemahkan ideologi suatu negara dengan mempengaruhi dan merubah pola pikir rakyatnya.
2). Membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme.
3). Menghancurkan sumber pangan dan energi suatu negara, kemudian menciptakan ketergantungan kepada negara penyerang.

Sudah barang tentu ketiga poin diatas bertujuan agar perekonomian dan sumber daya alam suatu negara dapat dikontrol dan dikuasai. Akan tetapi ketiga hal diatas tidak akan berjalan secara efektif jika tidak ada orang dalam yang berposisi sebagai “KOMPRADOR“, yaitu orang yang dapat dibeli untuk “BERKHIANAT KEPADA BANGSANYA“.

Para komprador tersebut bisa berada di mana saja, bisa di dalam tubuh pemerintahan sendiri, di berbagai lembaga resmi negara, bisa di tubuh partai politik, di berbagai lembaga swadaya masyarakat atau LSM, bisa sebagai pengusaha, sebagai tokoh atau pengamat dan profesi lainnya, tidak ketinggalan lembaga keagamaan.

Negara super power memiliki berbagai teknologi guna mendukung dan mempertahankan hegemoninya, mereka mempunyai berbagai satelit sesuai peruntukannya masing-masing. Dengan satelit mereka dapat melakukan penginderaan jarak jauh, sehingga hampir tidak ada dari belahan bumi yang tidak dapat mereka lihat. Dengan satelit mereka dapat melakukan rekayasa cuaca di kawasan tertentu, dan untuk tujuan tertentu pula.

Demokrasi dan isu HAM merupakan pintu masuk yang paling ampuh untuk memudahkan mereka dalam memasukkan ide, sekaligus untuk menciptakan perpecahan, dan ketidakstabilan pemerintahan dalam suatu negara. Amerika sendiri sebagai biangnya demokrasi cuma memiliki dua partai politik. Bandingkan dengan negara kita yang memiliki banyak partai, ibarat cendawan yang tumbuh dimusim hujan.

Ironinya, kita sebagai sebuah bangsa malah merasa sangat senang dan bangga karena kita dipuji sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Kita seakan larut dalam eforia pesta demokrasi, padahal sejatinya kita sedang diberikan injeksi berisikan virus berbahaya yang akan membunuh kita sebagai sebuah bangsa. Kita dipecah menjadi banyak agar menjadi bangsa yang lemah.

Mereka memanfaatkan dengan sangat baik kemabukan kita dengan demokrasi liberal yang seolah orang bebas berbuat apa saja. Berbagai proxy disebarkan ditengah masyarakat, sehingga masyarakat saling serang dan saling hujat satu dengan yang lainnya. Masyarakat dibuat tidak percaya terhadap pemerintah yang berkuasa.

Penghancuran ini berjalan diberbagai sektor kehidupan masyarakat, mulai dari ideologi, politik, hukum, hankam, sosial budaya, dsb. Salah satu contoh dengan membuat generasi mudanya kecanduan narkotika. Kalau sekarang kita mendapati berita narkoba masuk tiada henti, boleh jadi proses penghancuran tersebut sedang berjalan.

Senjata canggih lainnya yang digunakan adalah senjata biologis atau senjata kimia. Senjata pemusnah massal ini memiliki daya rusak dan penghancur luar biasa. Hampir semua negara besar memiliki laboratorium risetnya. Dan sudah barang tentu keberadaannya dirahasiakan, akan tetapi diantara mereka tentu saling mengetahui, dan saling berlagak seolah tidak tahu.

Banyak berita yang mengatakan bahwa Covid 19 adalah virus yang sengaja diciptakan untuk tujuan ekonomi. Apakah berita ini benar atau tidak, kita tidak tahu dengan pasti. Begitu banyak cara untuk menghancurkan perekonomian suatu bangsa dan dunia, bagi negara yang bernafsu mempertahankan hegemoninya, tentulah tidak mustahil untuk dilakukan.

Pertanyaannya :”Apakah negara kita sudah menjadi sasaran negara super power melalui perang proxy dan asimetrisnya ?”

Melihat dari gelagat dan tanda-tandanya tidak dapat kita sangkal dengan mengatakan tidak. Sesuatu yang sangat wajar dan masuk akal, bukankah negara ini memiliki sumber daya alam melimpah, bukankah letak geografis negeri ini sangat strategis?. Ratusan kapal dagang melintasi selat Malaka setiap harinya.

Bukankah bangsa ini sudah mulai mengabaikan dan meninggalkan ideologinya ? Bukankah sistem ketatanegaraan kita sudah dibelokkan kearah serba liberal?. Bukankah tingkat ketergantungan kita terhadap barang impor sangat tinggi?. Silahkan anda cari pertanyaan lainnya, yang kesemuanya membuat bangsa ini menjadi lemah dan rapuh.

Coba perhatikan dan hitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, anggota Legislatif, dsb. Berapa gaji mereka, bingungkan menjawabnya?. Anehnya mereka justru berpacu dan saling berlomba untuk menggapai jabatan tersebut.

Tidak heran kemudian para pejabat dan politisi kita juga merangkap sebagai pengusaha, minimal ada pengusaha yang bersedia mendanai dibelakang mereka. Sudah barang tentu tidak ada makan siang yang gratis. Fenomena inilah yang menjadi malapetaka besar bagi bangsa ini.

Boleh jadi di antara mereka inilah yang menjadi komprador dan pengkhianat bangsa. Mereka saling berkolaborasi dan bekerjasama untuk merampok dan menjarah negeri ini. Mereka ibarat orkestra yang memainkan simponi, masing-masing memainkan alat musiknya, tentu tidak lupa harus ada tim soraknya sebagai bahan bakar agar menjadi ramai. (***)

Pos terkait