Bakti Aushada
Oleh: M.Nursal
Orang baik selalu menyerbak, budinya menebar, menembus tembok-tembok perbedaan. Seperti kebaikannya, namanya pun membahana, menjalari dimensi. Orang itu, salah satunya, Prof. Idrus Paturusi. Aktivis kemanusiaan. Sang Dokter di Medan Lara.
Tersiar ihwal, Covid-19 tengah merasuk dalam tubuhnya. Sebuah virus yang sedang gencarnya diperangi oleh seluruh manusia di muka bumi. Beberapa jenak sebelumnya, Prof. Idrus bahkan menggetolkan imbauan, dan menghimpun Alat Pelindung Diri (APD) bagi rekannya yang meregang nyawa merawat pasien Corona. Ia meleburkan diri membendung arus penularan virus.
Tak dinyanah, Ia ikut terjangkit, entah darimana datangnya, dan akhirnya dengan jantan kasatria talabangi itu mengumumkan dirinya positif Corona. Semua dilakukan untuk mendeteksi dini jalur penyebaran virus. Sehingga manusia lainnya dapat memutus rantai penularan.
Jauh sebelumnya, dokter ini sudah sering menggadai nyawanya dengan keselamatan ummat. Di Ambon, ketika dendam dan amarah saling membantai, saat sesama anak bangsa saling melukai, menumpahkan darah, Ia datang menyusup, mengais tetes-tetesnya, menjahitnya, lalu membalutnya. Padahal jarak maut dengan dirinya kala itu hanya sejengkal.
Desember 2004, saat Tsunami meluluhlantahkan Serambih Mekah, mayat bergelimpangan, kehidupan lumpuh, Ia datang dalam keheningan bekerja tanpa liputan. Mengaktifasi Rumah Sakit, menegakkan tenda-tenda perawatan darurat. Memberikan semangat pada saudaranya bahwa engkau tak sendiri, ada sebangsamu di sini.
Bukan hanya sebagai dokter, cerdik cendekia ini memang macca na malempu. Ditangannya kedokteran jadi mercusuar di Unhas. Hingga akhirnya, yang maha terpelajar mengamanahkannya sebagai Rektor Unhas. Satu-persatu Ia mendiagnosa penyakit ayam jantan itu, memberinya tindakan medis dan merangkak menjadi World Class University. Kokokannya menggaung di negeri Mahatir Muhammad sampai Benua Biru.
Ia mengkhatamkan tahtanya dengan manis. Dari sini mungkin Ia akan menikmati masa senjanya. Tapi tidak, kabar gizi buruk melanda tanah Papua. Lagi-lagi Ia mengemas Stetoskop dan Jas putihnya beranjak merekah senyum di antara bocah-bocah kurus suku Asmat.
Juga saat Indonesia ditimpa musibah beruntun, gempa Lombok dan likuifaksi di Palu. Dokter sambung tulang (orthopedi) itu mengalahkan kecekatan usianya yang mulai uzur. Ia terjun menghunus peralatan medisnya. Semangatnya tak pernah menua memandu dokter muda menjadi obat bagi serakan korban bencana. Tabib ini mungkin bisa membaca kesedihan pasien dari detak jantungnya lalu meredakannya.
Napak tilas hidupnya dipenuhi medan pengabdian. Tak ada lelah di tubuhnya, memancangkan bakti di setiap nestapa bencana, melabuhkan juang di laut kemanusian yang tak bertepi. Dibenaknya, hanya ada Sumpah Hipocrates yang senada dengan pesan leluhurnya; “Membaktikan Hidup Untuk Kemanusiaan” atau “Punna Battu Mateang Allei Mate Disantangi” (Hidup bermanfaat atau mati bersantan). Versi arabnya, Isy Kariman au Mut Syahidan.
Kini seperti pejuang kesehatan lainnya, Ia terpapar. Karena mereka jadi bamper orang-orang positif Corona. Ia mendekat, mungkin juga mendekap pasien yang bahkan keluarganya pun dianjurkan menjauh.
Tetapi mungkin kita lah yang salah, menjadikan mereka tameng utama (frontline). Padahal sesungguhnya mereka adalah senjata terakhir (Ultimum Remidium). Kita, adalah garda pertama melawan wabah ini. Berdiam diri dan memperkuat imunitas adalah Premium Remidium, Itu yang utama.
Keangkuhan kita banyak membuat orang baik jadi susah. Kita lupa, mereka pun dinanti oleh orang-orang terkasih di rumah.
Prof, Virus Corona masuk mengendap dalam tubuhmu. Ia mungkin merusak sendi dalam setiap hasta jasadmu, tapi Ia tak mungkin menggerogoti jiwa manusiawimu, memakan sel-sel empatimu pada sembilu ummat.
Bang Corona mengapa kau menghinggapinya. Kalau hanya untuk menakutinya, kau salah orang. Ketakutan telah lama sirna darinya, dibunuh oleh jiwa-jiwa kemanusiaan dan pengabdiannya. Dinadinya mengalir darah pejuang, Arung Talabangi, penguasa perbatasan Pinrang, Ia Wija to Lasinrang.
Kau tak sendiri terisolasi Prof!. Ada ribuan rintihan pengharapan mengitarimu. Ada banyak barisan doa sedang menuju langit mengetuk belas kasih-Nya. Ada spirit yang meluap-luap menantikan senyum dan baktimu guruku. Semoga bola-bola virus ini tunduk dan takluk di hadapan imunmu.
Senpai !!! Atas nama kemanusiaan, hiduplah seribu tahun lagi !!!








