Penulis: Rais Syukur Timung ( Pena Nalar Pinggiran)
Dulu, penyakit cacar dan kusta begitu menakutkan, Ia ibarat kutukan. Sekali kena, harapan untuk berinteraksi dengan kehidupan, punah. Khusus kusta, penderitannya akan diisolasi, kelas sosialnya akan turun drastis. Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia bahkan membentuk organ birokrasi tersendiri untuk mengatasi masalah ini-Mantari Cacar (termasuk kusta) dan seterusnya.
Lalu, beberapa dekade setelah Indonesia merdeka. Indonesia dinyatakan bebas cacar dan kusta karena memiliki penawar dengan tingkat penyembuhan yang tinggi.
Ketika saya masih kecil, penyakit polio menjadi sesuatu yang menakutkan dikalangan Ibu-Ibu yang memiliki anak balita. Hari ini Indonesia sedang menuju pada bebas polio. Hal ini tidak terlepas dari penemuan vaksin polio oleh anak Imigran Yahudi kelahiran New York, Jonas Salk. Penemuan Vaksin polio oleh Salk dianggap sebagai “Pekerjaan Ajaib”. Vaksin ini kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Dunia pantas berterima kasih pada Salk.
Lalu, kanker menjadi penyakit yang paling ditakuti. Kanker darah, kanker serviks, kanker liver, kanker getah bening, kanker paru-paru sampai pada kanker prostat adalah kumpulan kata-kata indah yang juga teramat menakutkan. Beberapa tahun silam, Mantan Presiden Barack Hussein Obama menugaskan Wapresnya “Joe Biden” untuk memimpin proyek medis mengalahkan Kanker. Dana yang dikucurkan dalam jumlah yang teramat besa, terlepas dana itu didapatkan dari hasil penjualan senjata di Timur Tengah sana. Menurut CNN, teknologinya sudah hampir selesai. Target 5 tahun kedepan, penyembuhan kanker bukan dengan Kemoterapi dan sejenisnya, tapi meningkatkan sistem imun tubuh.
Belakangan, bulan-bulan pertama di tahun 2020, penyakit menular Corona Virus jenis baru (Covid-1), disebut sebagai wabah pendemik oleh WHO. Diketahui pertama kali merebak di Wuhan-China akhir tahun 2019. Spekulasi para ahli pun menyeruak dimana-mana, ada yang menyebutnya sebagai evolusi alami per- 100 tahun, ada yang menyebutnya senjata biologis, dan sebagainnya.
Wabah Covid-19 ini telah menjangkiti hampir semua Negara di dunia dengan tingkatan kematian sangat fantastis. Amerika misalnya, lalu disusul Italia, Iran dan China, akibatnya banyak Negara keteteran menghadapi wabah Corona jenis baru tersebut, termasuk Indonesia.
Diindonesia sendiri, perdebatan meruak dari linimasa sampai media massa. Bertebaran berbagai sharing Informasi tentang penangkal Covid-19, bahkan menjurus ke sampah visual. Apa saja dishare. Kita bisa mengendus sebagai gejala kecemasan yang kian menyengat publik. Bukan cuman sengatan Virus Corona, sengatan disinformasi juga mematikan.
Masyarakat yang kering akan literasi tentang Covid-19, kemudian menelan setiap muntahan kabar burung dan hoaks yang gentayangan di linimasa. Dengan angka kematian yang tinggi dan kesembuhan yang rendah, serta tren kasus yang melonjak, akhirnya pertahanan psikologis masyarakat mulai retak dan jebol.
Ibarat orang tenggelam ditengah samudera yang berusaha menggapai jerami sebagai pelampung. Sekarang, apa saja yang menjadi mitigasi terkait Corona disosmed dijadikan pegangan.
Disaat yang sama, agama sebagai piranti kebatinan pun condong getas sebagai pegangan, pasca para Ulama Mendebati sholat dirumah Vs sholat berjamaah di masjid. Mau sholat dirumah emoh dibilangi takut pada mahkluk (virus) dan menafikan Tuhan. Sementara mau sholat dimasjid, ada anjuran sosial distancing atau penjarakan sosial.
Tren Covid-19, hampir mirip dengan penyakit cacar dan kusta, yang saya urai dibagian atas tulisan ini. Sekali kena, harapan untuk berinteraksi dengan kehidupan, punah. Ia ibarat kutukan, bahkan orang yang meninggal akibat wabah virus tersebut, tidak layak dikebumikan dan semua yang meninggal pasca wabah ini merebak, justifikasi orang-orang lanhsung mengarah pada virus. Sekerdil itukah nurani kita sampai mengabaikkan kejernihan rasionalitas. Padahal WHO, telah menyampaikkan bahwa penularan Covid-19 hanya ada 2 yaitu penyebaran melalui Drooplet dan kontak fisik. Penyebaran melalui Airbone (udara) adalah tidak benar.
Beberapa waktu lalu (31/3/2020) di Makassar, ada orang terduga meninggal akibat Corona yang hendak kebumikan mendapat penolakan dari warga sekitar TPU yang memblokade akses pekuburan dengan kayu dan besi karena panik dengan wabah ini karena akan menulari masyarakat.Dua hari sebelum kejadian Penolakan penguburan di Makassar, di Gowa-Sulawesi Selatan juga terjadi penolakan penguburan terhadap Pasien Positif Covid-19 oleh masyarakat setempat.
Jika hal ini terus berlanjut maka jebolnya psikologi masyarakat juga bisa menjurus pada Generalized Anxiety Disorder (GAD), dilansir dari halaman Web Webmd.com. GAD adalah gangguan Psikis yang membuat penderitannya mengalami kegelisahan yang berlebihan, atau Panic Attack.
Ada disharmoni informasi publik dan literasi tentang Covid-19 yang tengah menganga di masyarakat. Jika dibiarkan, hal ini bisa jadi pemicu sosial mental disorder. Diakibatkan negara melalui otoritas kesehatan gagap dalam mengedukasi publik terkait literasi Covid-19.
Ditengah kepungan wabah yang mengenjet Psikologi masyarakat sudah selayaknya kita (kembali) rindu dengan IBNU SINA, bukan justru adu otot di medan Kurusetra. Harapan pada sosok yang membangkitkan Ghiroh optimisme, ibarat Oese dipadang Tandus, tentu merupakan penawar dalam mengobati Kegelisahan masyarakat yang kian jebol.
Harapan kita, tentjnya semoga dalam waktu dekat, ada hamba Tuhan yang mampu menemukan obat untuk menaklukkan Corona.
Saya berharap, sekaligus kata-kata ” semoga” merefleksikan rasa “cemas”.








