Penulis : Awaliyah Rahmat (Aktivis HMI)
Akhir-akhir ini ditengah pandemi Covid-19, menuai banyak kontroversi dalam perkara teologi. Adanya kebijakan MUI tentang pembatasan ditempat-tempat ibadah menuai kontroversi yang melahirkan pro dan kontra ditengah tengah masyarakat. Perkara teologipun dibawah kedalamnya. Banyak stagmen yang saling kontradiksi, sebut saja salah satunya, “jangan takut Corona, cukup takut dengan Tuhan”. Arugumen demikian menjadi afirmasi, sehingga masih banyak diantara sauadara seiman kita yang tetap melaksanakan ibadah secara berjamaah dimasjid.
Menjalankan ibadah secara berjamaah pada prinsip dan keutamaannya memang jauh lebih baik dari pada sholat yang dilakukan secara sendiri sendiri. Karna selain mendapatkan amalan ibadah yang berlipat ganda, dan kemudian akan mempererat ukhwuah antar sesama jamaah.
Memperkuat ikatan keadaban kita sebagai sesama muslim untuk sama-sama meraih rahmat baik secara vertikal kepada Tuhan maupun secara horizontal antar sesama manusia (saling memberi rahmat kepada sesama manusia), tapi ditengah pandemi saat ini, untuk saling memberi rahmat kepada sesama tidak mutlak harus dilakukan dengan cara sholat berjamaah dimasjid.
Tapi saling mendoakan dan saling menjaga, serta saling berbagi terhadap sesama dimasa masa sulit ini adalah keniscayaan yang akan mendatangkan rahmat kepada kita. Saling menjaga yang dimaksud adalah melakukan tindakan social distancing ataupun phisical distancing sesuai anjuran pemerintah. Sebab bagaimanapun Tuhan menganjurkan kita untuk taat kepada-Nya, taat kepada rasul-Nya, dan taat kepada ulil amri (para pemimpin). Sesuai dengan firman-Nya dalam surah An-Nisa ayat 59.
Kini saatnya manusia harus kembali menemukan Tuhan dalam ritus tersuci pada dirinya yaitu hati nurani. Dalam keheningan dan sujud-sujud panjang yang berlinang air mata diatas sajadah ketika menunaikan ibadah sholat dirumah masing masing. Jangan bersedih ketika kita tidak mendengar lantunan ayat ayat suci dari seorang iman dan kita meng-Aminkan sebagai seorang makmum. Saat ini Tuhan mengajarkan kita untuk bersabar dan bertawakal serta mengembalikan diri kita pada fitrah yang sesungguhnya, bahwa kita semua adalah iman pada diri kita masing masing.
Percayalah wahai saudara seimanku, bahwa ritus tersuci pada diri manusia ada pada hati nuraninya, disanalah Tuhan ditemukan ketika kita arif dan bijak menjalani setiap detir kehidupan ini. Akhir kata saya akan mengutip kalimat bijak dari seorang sufi agung, Jallaluddin Rumi “rumah paling tergalap didunia adalah rumah kekasih tanpa kekasih”.
Saat inilah Tuhan memberikan kita waktu terbaik untuk kembali menerangi rumah kita dengan qalam-qalam-Nya. Sebab Dia-lah kekakasih kita yang sesungguhnya. Kekasih yang selalu mendatangkan cahaya dengan kerahmatan-Nya pada setiap makhluk ciptaa-Nya.
Kita berdoa semoga pandemi ini cepat berlalu dan masjid serta ritus ritus tersuci manusia yang lainya akan kembali ramai. Kita akan kembali beranjak mengunjunginya setelah kita melewati proses penyucian diri dari rumah kita masing-masing, lebih dari itu penyucian pada hati nurani kita.
Sesungguhnya hanya Tuhan-lah pemberi petunjuk terbaik
Wallahu waalam bissawaf.








