Penulis : Dimas Harun (Pengurus Himpunan Pelajar Mahasiswa Wajo)
Diawali tulisan ini dengan sebuah pernyataan “Virus Baru Selain Covid-19” yang lebih berbahaya. Saat ini, kita sudah disibukkan untuk mencegah penularan Covid-19 sehingga membuat masyarakat lebih meningkatkan kewaspadaannya yang mengancam keselamatan banyak orang. Dibalik ancaman virus ini, ada virus baru hadir ditengah-tengah masyarakat yang membuat kehidupan sehari-harinya menjadi tidak karuan karena hadirnya “Virus Baru” di balik Covid-19. Virus apakah itu?
Virus yang dimaksud penulis saat ini adalah “Munculnya Stigma Negatif Ditengah Masyarakat Terhadap Covid-19″ yang lebih membahayakan. Kenapa Virus “Stigma Negatif” lebih berbahaya dari Covid-19?
Perlu kita ketahui bersama bahwa “Stigma Negatif” adalah pandangan buruk masyarakat terhadap seorang yang terkena penyakit tertentu. Berdasarkan Data Gugus Tugas Covid-19, saat ini Sulawesi Selatan jumlah kasus yang dinyatakan Positif sebanyak 222 orang, ada penambahan 44 kasus dari yang sebelumnya 178 kasus. Meningkatnya kasus Covid-19 tersebut membuat masyarakat semakin was-was.
Dalam rangka mencegah penularan Covid-19, masyarakat saat ini sudah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kewaspadaan mereka, mulai dari penyemprotan disenfektan, memakai masker, mengurangi aktivitas diluar rumah dan melakukan penutupan akses jalan di setiap kampung mereka.
Sebagai contoh, masyarakat yang merantau dan ingin balik ke kampung, maka mereka akan berpikir bagaiamana situasi di kampung di saat seperti ini?. Munculnya kekhawatiran pada diri seseorang tersebut adalah salah satu bentuk “Stigma Negatif”, belum lagi ketika sampai dikampungnya.
Salah satu bukti nyata yang terjadi dikampung penulis adalah adanya salah seorang perantau yang balik ke kampung. Sesampai di kampung, orang tersebut langsung di “Vonis Positif Covid-19 oleh masyarakat (Stigma Negatif)”. Dengan cepat cerita itu merembet ke tetangga-tetangganya. Hal ini membuktikan bahwa Virus “Stigma Negatif” yang tertanam di kepala masyarakat sudah terlalu berlebihan. Mungkin karena mereka melihat beberapa media yang melangsir berita hoaks atau berita yang jelas kebenarannya.
Dengan adanya “Stigma Negatif” tersebut, masyarakat semakin risau menjalani kehidupan sehari-harinya. Seakan-akan masyarakat mengasingkan orang lain dan menganggap Covid-19 ini sebagai “Aib”. Bahkan banyak perantau yang pulang ke kampung tidak diterima oleh masyarakat kampung mereka sendiri disebabkan ketakutan masyarakat yang berlebihan terhadap Covid-19. Hal ini hampir sama dengan kasus HIV/AIDS, stigma yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat terkait kasus tersebut sangat luar biasa yang memberikan dampak kepada orang yang mengidapnya sehingga membuat orang yang mengidap penyakit tersebut kehilangan semangat untuk hidup dan menjalani hari-harinya.
Pada dasarnya, yang terjadi di masyarakat saat ini adalah kurangnya sosialisasi yang sifatnya mengedukasi mereka terkait Covid-19. Sehingga masyarakat dengan mudah mencerna hal negatif dari setiap informasi yang mereka dengar maupun mereka baca. Justru sebaiknya, masyarakat perlu dipahamkan bahwa vonis Positif Covid-19 bukan sesuatu yang langsung tervonis Positif, karena hasil uji Swab lah yang sebagai hasil akhir seseorang dinyatakan “Positif atau Negatif” yang membutuhkan waktu 14 hari menunggu hasil uji Swab dari Jakarta setelah sampel dikirim. Ada beberapa tahapan yang perlu dilewati untuk sampai ke tahap dinyatakan positif Covid-19.
Akhir kata ”Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya”.








