ARLISAKADEPOLICNEWS.COM. Belum 24 jam video wawancara jurnalis senior Najwa Shihab dengan presiden Jokowi sudah membuat geger warganet seantero nusantara. Bagaimana tidak, dalam sebuah kutipan wawancara Najwa yang menanyakan soal ramainya aktifitas mudik lantas dijawab Jokowi dengan pernyataan yang dianggap menggelitik.
“Data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) hampir 1 juta atau sekitar 900.000 orang yang sudah mudik. Kalau pemerintah baru akan melarang, apa tidak terlambat karena sebaran sudah terjadi?” Ujar Najwa Shihab.
Tanpa ragu Jokowi melontarkan jawaban “Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Karena bekerja di Jabodetabek. Di sini mereka sudah tidak punya pekerjaan ya mereka pulang karena anak dan istri ada di kampung,” tuturnya.
Menelusuri ihwal pernyataan Jokowi tersebut, Ketua Umum Nasional Perkumpulan Intelektual Madani Indonesia Renny Puteri Harapan Rani M.AP turut menanggapi jawaban kontroversi tersebut.
“Ini sebuah fenomena unik yang sudah sering kita dapati dari berbagai lontaran jawaban presiden Jokowi di beberapa kondisi dan kejadian. Jadi harusnya kita tidak kaget lagi, kejanggalan dalam melontarkan kata serta jawaban-jawaban seperti itu sudah biasa dilakukan oleh pak presiden,” ungkap perempuan lulusan Pascasarjana STIA LAN Makassar.
Walaupun tak secara eksplisit menilai apa jawaban Jokowi benar atau keliru, namun nyatanya pro-kontra kadung terjadi. Publik menganggap, jawaban mudik dan pulang kampung mengandung makna yang sama namun di sisi lain Jokowi justru menganggapnya berbeda. Renny kemudian berujar, bahwa seorang pemimpin negara memang wajib memiliki kemampuan literasi yang baik.
Hal itu menurutnya menjadi penting, sebab presiden adalah pengambil keputusan tertinggi dalam suatu negara, semua sikap, tutur bahasa dan perilakunya akan rentan menjadi sorotan publik dan di banyak negara, kemampuan tata bahasa sangat dikaitkan dengan performa seorang pemimpin.
“Ada sebuah opini yang pernah saya tulis berjudul “Bahasa Indonesia di Tengah Perkembangan Global” dan saat itu terbit di media cetak tribun timur bulan oktober 2007 silam. Dalam tulisan itu saya mengungkap bagaimana tutur kata dan menggunakan tata bahasa serta kemampuan berbicara dengan baik adalah poin krusial bagi level seorang presiden. Dan hal tersebut sudah dicontohkan oleh para pemimpin kita terdahulu. Bagaimana seorang Soekarno dikenal amat piawai dalam berpidato hingga mampu mengguncangkan dunia, Soeharto yang dikenal berwibawa dengan bicaranya yang tegas dan lugas, Habibie yang notabene memang seorang ilmuwan dunia yang terbiasa dengan berbagai macam bahasa dan Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah beberapa kali diberi penghargaan oleh dunia karena kemampuan tata bahasa dan kepiawaiannya dalam berbicara dan berpidato.” tukasnya lagi.
Renny yang saat ini tengah memimpin Perkumpulan Intelektual Madani yang berbadan hukum resmi dan berisi para citivas akademika lintas universitas, lantas menghimbau agar publik tak usah membuang waktu membicarakan hal yang tak begitu penting. Ia meminta publik agar memaklumi keterbatasan Presiden Jokowi dalam hal berbicara dan literasi. Namun meski demikian dirinya juga mengingatkan bahwa seyogyanyalah seorang pemimpin negara terus meng-upgrade kemampuan tata bahasa dan kemampuan berbicaranya di depan publik agar tak kerap menimbulkan kisruh.
“Kita lihat sejenak sejarah masa lampau, bagaimana seorang Nelson Mandela mampu menjadi magnet dunia dengan kepemimpinannya. Nelson diketahui dunia begitu memberi pengaruh dan ia sosok yang sangat perduli tentang kemampuan berkomunikasi seorang pemimpin negara. Sebab dari situ, semua pandangan, visi dan misi seorang pemimpin dapat tergambar dan tersampaikan dengan baik.” pungkasnya. (***)








