Penulis : Dr. Laode Amijaya Kamaluddin, M.AP (Mantan Pinwil Perum Bulog Jambi dan Sultra)
Indonesia kembali mengalami krisis pangan yang diakibatkan situasi Pandemi Covis 19 yang belum juga redah. Sementara masyarakat di himbau untuk berada dirumah saja karena penerapan Social Distancing, hingga pengetatan penerapan PSBB, kita semua harus menjalankan aktifitas dari rumah (WFH). Sedangkan bantuan Pemerintah sudah mulai digulirkan karena berlama-lama dirumah akan mengikis stok cadangan pangan rumah tangga.
Sayangnya, bantuan pangan Covid 19 ini masih menuai kritik dan dugaan minimnya akurasi data terutama data masyarakat miskin dan orang miskin baru belum terkonsolidasi dengan baik, sehingga tumpang tindih. Diduga salah sasaran nyasar ke kalangan elit masyarakat yang bukan haknya untuk menerima bantuan tersebut.
Satu Data Untuk Bansos Covid-19
Kantor Kementerian Sosial sebagai perangkat Pemerintah untuk penanganan Jaring Pengaman Sosial (Social Sefty Net) memiliki tugas pokoknya untuk melink Data BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) termasuk juga kelompok PKH (Program Keluarga Harapan). Lagi-lagi penyebab utamanya adalah data penerima Bansos tidak akurat dan belum divalidasi kerena masih menggunakan data lama. Sejatinya Kementerian Sosial mudah baginya untuk mengkonsolidasi data orang miskin dan miskin baru.
Selain itu, Pemerintah juga masih memiliki Kementerian Tenaga Kerja untuk mendapatkan data 5,1 juta orang miskin baru di PHK akibat Pandemi Covid-19. Kementerian Dalam Negeri dengan data penduduk di seluruh perangkat daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai di Desa-desa.
Kita juga masih memiliki cadangan data kependudukan melalui Bank Indonesia, bisa ditarik seluruh data nasabah melalui Bank yang beroperasi di seluruh wilayah Negeri. Kita punya data base yang dimiliki BPS hasil sensus penduduk dan survey ekonomi, juga bisa di perkuat datanya dari Kantor Pajak. Lantas kenapa kita tidak bisa melakukan konsolidasi datanya sekarang? karena egosentris birokrasi yang menjadi hambatan, seharusnya kolaborasi birokrasi bisa meretas dan mesingkronisasi menjadi satu data penduduk.
Kekuasaan dan wewenang pemerintah untuk melakukan kolaborasi data penduduk sangat ditentukan dari kualitas Pemerintah yang profesional apalagi di jaman internet sekarang, bukan lagi menjadi masalah dengan Big Data yang kita miliki menggunakan artificial technology blockchai semuanya bisa.
Di seluruh wilayah ASEAN, Indonesialah lah satu-satunya Negara yang belum mengelola Data Kependudukan dengan menggunakan “One identity” kenapa?karena masih banyaknya korupsi, penegakan hukum tebang pilih, penyembunyian kekayaan pribadi dengan menggunakan data diri orang lain dan lainnya.
Carut-Marutnya pengelolaan Data Untuk Bansos Covid-19
Kekisruhan Bansos Covid-19 merupakan cerminan carut-marutnya bangsa ini dalam mengelola pemerintahan, tidak profesional karena padahal bisa di selesaikan dengan cepat dan mudah apabila didukung Pemimpin yang assertive termasuk jajaran elit politik bangsa sebagai bentuk tanggung jawab kenegarawanan mereka. Mitigasi risikonya ada pada data yang tidak akurat dan tumpang tindih, dikelola antar departemental secara Ad hoc, sibuk pada hal-hal yang tidak menjadi prioritas menyelesaikan subyek dari pandemik Covid-19.
Gubernur Jabar sudah mengingatkan agar penanganan bantuan harus dilakukan dengan “menggunakan satu data dan lewat satu pintu” untuk memudahkan para Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai pelaksana di lapangan. Kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dalam menghadapi krisis di tahun 1998, tidak lebih keadaan hampir sama dengan situasi Pandemi Covid-19.
Saat itu Negara memberi mandat urusan Data Orang Miskin dikomandani oleh Kemenko Kesra, yang kawal Data Kemensos. pendistribusinya di serahkan ke BULOG karena memiliki stok Beras CBP (Cadangan Beras Pemerintah) untuk distribusi beras kepada rumah tangga miskin (Raskin) sedangkan orang miskin baru di PHK di Perkotaan dilakukan Operasi Pasar Khusus (OPK). Semuanya dapat terkendali meskipun masih terdapat perbaikan dan penyempurnaan distribusi pengerjaannya secara simultan.
Ditengarai pelaksanaan bantuan Covid-19 kita bertanya kenapa masih carut marut?. Karena lembaga yang mengolah data base orang miskin tidak berfungsi menjalankan SOP. Padahal Pemerintah juga sudah mengingatkan bahwa penyakit tahunan kegiatan Bansos ini akan bangkit kembali seperti; data tidak akurat, salah sasaran, tidak tepat jumlah dan kualitas tidak terjamin.
Bantuan uang tunai sangat rawan pelaksanaannya di karenakan kurang akuntabel dan bukti terima lemah, tidak akurat dan diragukan kesahihannya. Hal ini akan menjadi pintu masuknya bagi penegakan hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian atas terjadinya kemungkinan kebocoran Bantuan Sosial untuk Covid -19.(LAK).