Penulis: Asrullah S. Ip.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Bab I, Bab II, Bab III menyebutkan “menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
Yang timbul di Pemerintahan Desa Salama adalah hal yang berbanding terbalik dengan apa yang di jelaskan dalam undang-undang tersebut diatas, dimana segala bentuk aktifitas Desa tidak pernah dipublikasikan ke masyarakat yang secara UU berhak tau tentang informasi-tersebut.
Pemerintah Desa seakan akan menutup rapat informasi tentang aktifitas Desa terkait Dana Desa. Pihak Desa tidak pernah memberikan keterbukaan kepada masyarakat baik itu soal jumlah ataupun pengelolaan Dana Desa.
Penulis selaku warga Desa Salama hanya menyaksikan kegiatan pembangunan yang mangkrak, pembangunan yang asal jadi tanpa mengetahui sumber dana pembangunan dan tujuan pembangunan yang tidak jelas serta pembangunan-pembangunan yang tanpa menggunakan TPK. Ketika pihak Desa diminta untuk memberikan keterbukaan dan transparansi soal anggaran dan lain, selalu menolak bahkan lebih parahnya mengintimidasi.
Belum lagi keluhan para aparat Desa yang bekerja tanpa SK dan di gaji sangat jauh dari kata gaji yang layak seperti RT/RW yang hanya di gaji Rp.150.000,-/bulan Linmas digaji Rp.100.000,-/bulan dan ada juga salah seorang menjadi RT bukan dipilih warga, ia mengaku bahwa dia di paksa jadi RT oleh PJS Desa.
Yang lebih hangat lagi diperbincangkan baru-bru ini adalah pembagian BST. Pihak Desa tidak pernah memberikan transparansi soal dana BST, dan mirisnya adalah ada yang dibatalakan pembagian BST tersebut oleh Pemerintah Desa tanpa sosialisasikan alasan dan syarat menerima ataupun yang tidak menerima BST tersebut.
Dalam sosial-ekononomi rakyat, keluhan-keluhan publik adalah kenyataan, terlihat bahwa Pemerintah yang tidak siap dalam menyelesaikan ketidakpastian politik dan masyarakat sedang tumbuh dari sisi buruk politik.
Demokrasi itu asasnya kemerdekaan untuk perbedaan ide dan pandangan. Kritikan dianggap cari masalah. Keterbukaan informasi publik tidak di jalankan sesuai amanat undang-undang.
Sudah banyak ketimpangan yang terjadi atas nama rakyat kemudian merebaklah kritik sebagai jalan akhir karena pemerintah yang pasif dan kaku dalam pengelolaan pemerintahan.
Kemudian dicetakalah informasi yang menimbulkan kekhwatiran itu; tukang bikin onar, tukang hasut dan lain-lain. Penggiringan isu yang dilakukan elit-elit yang khawatir piringnya pecah dengan mendogma rakyat dengan kebudayaan yang terima saja apa yang menjadi keputusan Pemerintah jika tidak “akan ini” “akan itu”
Keikutsertaan dalam aktivitas gerakan ditatap dengan rasa curiga dan dipertanyakan keefektifannya. Belum lagi klaim-klaim yang dianggap tidak bermoral, jangkaun pertanyaan seperti ini entah diukur dengan analisis seperti apa atau pertimbangan apa?
Pernahkan pemerintah mengevaluasi diri tentang apa yang menjadi sebab dari segala akibat itu?. Mengaku paling demokratis, ketika rakyat bersuara dituduh supersif, mencemarkan nama baik, mengganggu ketertiban umum.