Penulis : Syamsul
(Eks Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pancasakti Makassar)
Perkembangan masyarakat tak lepas dari peran penyebaran informasi.
Maka masa sekarang pun disebut sebagai era informasi. Oleh sebab itu, banyaknya arus informasi yang memberondong ke masyarakat, sekaligus kepentingan besar masyarakat untuk mendapatkannya.
Penyebaran informasi ini tidak lepas dari peran pers, jurnalis dan media massa.
Dari berbagai aktivitas pers dan jurnalistik, maka dirumuskanlah 4 fungsi dan tanggung jawab pers, yakni informasi, edukasi, intertainment, dan kontrol sosial.
Dalam perspektif politik, kontrol sosial dimaksudkan ialah untuk mengawasi perilaku sosial dan politik masyarakat, terutama pihak kekuasaan (wacth dog), transparansi dan akuntabilitas publik bagi para pejabat dan media bagi pendapat rakyat.
Itu sebabnya, Pers termasuk salah satu 4 pilar dalam sistem demokrasi (the fourth estate) eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers (Muhtadi, 1999:48).
Dengan adanya media online yang menawarkan kemudahan akses dan penyebarannya yang begitu luas, membuat media online semakin berkembang.
Kehadirannya dengan berbagai kemudahan berdampak pada persaingan produksi pemberitaan dengan media arus utama.
Berdasarkan data Dewan Pers (03/12/2019) menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan media di Indonesia seakan-akan tak dapat terelakkan, terbukti begitu membeludaknya media massa yang mewarnai arus informasi komunikasi di Indonesia.
Dari data Dewan Pers, media yang tercatat dan telah diverifikasi sebanyak 1,251 hingga 1,252, yang difilter dari 9321 dari total entri daftar media di Indonesia tahun 2020, dari sekian jenis media yang terverifikasi tersebut diantaranya adalah, media siber, cetak, siaran dan televisi.
Sekitar 2 tahun yang lalu, Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan, ada sekitar 43 ribu media online, dan hanya 168 yang profesional. (IDN Times 08 Februari 2018).
Selain itu, Ketua Dewan Pers juga mengatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia ini berimbas pada menjamurnya media massa di tanah air. Efeknya terjadi perekrutan wartawan dalam jumlah besar.
Sayangnya, perekrutan tersebut tidak diikuti dengan sumber daya wartawan yang siap pakai. Beragamnya latar belakang akademis wartawan juga menjadi persoalan lain. “Kebanyakan dari para wartawan baru ini, tak pernah mengikuti pendidikan jurnalistik,” ujar Ketua Dewan Pers saat menyampaikan sambutan pada peringatan Hari Pers Nasional di Padang.
Selain masalah di atas, telah menjadi rahasia umum bahwa, perusahaan media di Indonesia banyak dikuasai oleh para politisi dan konglomerasi media (raja-raja media). Kebebasan pers di Indonesia semakin nampak dan dirasakan setelah memasuki era reformasi.
Hasil penelitian yang di publish pada tahun 2012 silam oleh seorang peneliti Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat, Merlyna Lim, mengemukakan hasil penelitiannya bahwa pada tahun 1998 pasca lengsernya orde baru sampai pada tahun 2012 (era reformasi), terhitung ada sekitar 1200 media cetak baru yang bermunculan, dan lebih dari 900 radio komersil, serta 5 stasiun televisi baru.
Sekarang sudah tahun 2020, tentu juga akan ada peruberubahan data seiring berjalannya waktu.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, media seperti cetak, radio dan televisi perlahan mulai ditinggal. Bergesernya kebiasaan pembaca untuk mengonsumsi media dengan menggunakan koneksi internet, menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensinya.
Penerbitan tabloid, koran dan semacamnya itu menjadi semakin sulit karena kebiasaan membaca orang yang sudah berubah.
Media online hadir dan mengubah para pelaku bisnis media yang sebelumnya berpikiran, bahwa media cetak sudah ideal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Televisi dan radio, dianggap tidak akan mampu menandingi pencapaian media cetak dari sisi kedalaman dan kebebasan mengulas sesuatu. Sekalipun televisi dan radio memiliki kelebihan sendiri. Tapi tetap tidak memiliki apa yang telah dicapai media cetak.
Pada perkembangannya ketiga jenis media ini dianggap sebagai media tradisional karena muncul yang namanya new media.
Generasi ini datang ke Indonesia seperti ingin mengganti media tradisional Indonesia. Dengan argumentasi peningkatan pelayanan dan kepuasan terhadap pembaca, maka pemodal media cetak maupun televisi ikut merambah dunia online.
Pertanyaannya, siapakah para pemilik media itu?. Pertanyaan ini penting bagi kita untuk memberikan sebuah gambaran ke mana arah sebuah arus pemberitaan selama ini. Apakah berimbang atau justru cenderung berbaur dengan kepentingan bisnis atau bahkan kepentingan politik?.
Untuk kursi kekuasaan, pemilik media akan cenderung mengontrol ruang redaksi, akibatnya media tersebut menjadi pendukung partai politik atau sikap politik pemiliknya.
Misalnya, pemilik media mengontrol pemimpin redaksi, pemimpin redaksi mengontrol redaktur pelaksana, redaktur pelaksana mengontrol para redaktur, dan redaktur mengontrol wartawan. Dan pada akhirnya, wartawan di lapangan yang akan teraniaya secara idealismenya.
Independensi jurnalisme yang dimaksud pada judul tulisan ini adalah kekuatan media atau wartawan untuk berdiri sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, yang akan membuat berita menjadi tidak berimbang. Independen dari otoritas politik, otoritas sosial atau bisnis, dan tidak ada bias personal.
Loyalitas seorang jurnalis semestinya bukan loyalitas kepada pemilik media, tetapi loyalitas kepada warga negara.
Independensi dan Jurnalisme wajib mengacu pada Undang-undang Dasar Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 1 mengenai independensi.