Opini : RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) “Mengkerdikan Pancasila”

  • Whatsapp

Penulis : Penulis : Amril Hans, S.AP.,MPA (Dosen Administrasi Publik Unhas/Mahasiswa Doktor Administrasi Publik Unhas)

Setelah membaca Naskah Akademik dan Draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), terlebih dahulu saya akan mengawali menjelaskan apa itu falsafah negara yakni Pancasila ?. Filsafat Pancasila adalah penggunaan nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bernegara. Pancasila sebagai filsafat juga berarti bahwa pancasila mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila.

Menurut teori organisasi, ketika berbicara falsafah apakah itu sebuah organisasi atau pemerintahan apalagi negara, maka arah atau haluannya adalah falsafah. Karena falsafah adalah nilai yang harus dipegang oleh seluruh anggota organisasi tersebut. Tata nilai organisasi bukan direduksi menjadi sebuah aturan formil dalam organisasi, namun tata nilai menjadi niat untuk mengarahkan organisasi itu menuju visi yang telah ditetapkan. Tata nilai merupakan aspek dasar dalam budaya organisasi.

Begitupula ketika kita berbicara tentang falsafah negara Indonesia maka yang dijadikan haluan adalah Pancasila. Sebagai haluan negara, maka nilai-nilai yang dianut oleh seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia adalah Pancasila. Olehnya itu segala acuan negara berdasarkan Pancasila, seperti pembangunan negara dari segala aspek yakni aspek politik, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek budaya semua mengacu pada Pancasila.

Karena Pancasila merupakan aspek dasar berbangsa dan bernegara maka begitupula dalam pembangunan Negara. Dalam acuan pembangunan negara yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Nasional baik Jangka Panjang maupun Jangka Menengah, pasti dan wajib mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Karena Pembangunan Nasional baik ditingkat pusat maupun daerah berlandaskan pada Undang-Undang terkait yang pastinya Undang-Undang tersebut mengacu pada UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-perundangan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dibuat atas dasar falsafah negara yakni Pancasila. Sehingga kedudukan dari UUD 1945 adalah hukum dasar sedangkan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Jadi, ketika Pancasila dibuatkan menjadi aturan formil maka menjadi kontradiktif pada pembuatan Undang-Undang, karena UUD 1945 sendiri terlahir dari falsafah Pancasila. Sehingga ketika ideologi Pancasila dibuatkan menjadi sebuah regulasi, maka dengan sendirinya kita MENGKERDILKAN falsafah Negara kita.

Ditambahkan oleh Yusril Ihza Mahendra seorang pakar Hukum Tata Negara mengatakan “bahwa Pancasila adalah dasar negara yang merupakan landasan falsafah bernegara Indonesia dan itu merupakan suatu kesepakatan dari seluruh komponen bangsa Indonesia. Penafsiran dari falsafah negara itu diserahkan kepada masing-masing kelompok masyarakat yang tidak perlu dintervensi maupun tidak perlu dimonopoli tafsirannya, kalau dia dikatakan sebagai suatu ideologi. Karena ideologi itu merupakan suatu rumusan yang lebih eksplisit untuk dijadikan dalam bentuk program yang nyata dan sebagai pedoman untuk bertindak bagi organisasi atau parpol. Jadi sebenarnya bagi saya Pancasila itu bukan ideologi tapi falsafah bernegara”.

Dari pendapat diatas, keliru ketika hadirnya RUU HIP yang kemudian diharapkan agar Pancasila dapat lebih “membumi” atau dengan kata lain dapat dioperarasionalkan dalam kehidupan sehari-hari. Keliru ketika ingin mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila harus dibuatkan regulasi sendiri. Padahal semua UU yang terbit berlandaskan pada Pancasila.

Saya melihat kehadiran RUU ini melahirkan kembali praktik-praktik Orde Baru dalam tatanan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat yang demokrasi. Ketika RUU ini disahkan maka besar kemungkinan akan ada salah tafsir dalam menterjemahkan RUU ini sehingga implementasinya akan kembali seperti praktik-praktik orde baru.

Sebagai penutup penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila sebagai sebuah Undang-Undang, saya mengutip pendapat Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul “Negara Paripurna” (hal 47) menyatakan bahwa: “……memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan saling keterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah proses “radikalisasi Pancasila”. “Radikalisasi” dalam arti ini adalah revolusi gagasan, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar. Radikalisasi Pancasila yang dimaksudkannya ialah :

(1) Mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara
(2) Mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu
(3) Mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundang-undangan, kohensi antasila, dan korespondesi dengan realitas sosial
(4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal
(5) Menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan dan sanggup memenuhi praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.

Dari kutipan diatas, dapat kita simpulkan bahwa “membumikan” nila-nilai ideologi Pancasila terlalu naif dan mengkerdilkan dirinya sendiri untuk dibuatkan sebagai sebuah regulasi. Sejauh ini nilai-nilai ideal Pancasila belum sepenuhnya “terbumikan” dalam kenyataan, terutama karena krisis keteladanan para penyelengara negara (termasuk Anggota Legislatif). Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tidak hanya menjadi retorika atau verbalisme di pentas politik.

Pos terkait