Opini: Pak Joko Widodo, Jadilah Presiden Pemberani

  • Whatsapp

Penulis : Syamsudin Kadir
(Pendiri Komunitas “Cereng Menulis”)

Pada awalnya saya sungkan menulis yang beginian. Tapi gatal juga jari saya untuk menulis. Apalah lagi terkait dengan Presiden Joko Widodo. Bukan karena ia sebagai suami dari seorang istri atau ayah dari beberapa orang anak. Tapi ia sebagai Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat di TPS pada Pilpres 2019 lalu itu.

Saya baru menulis begini hari ini bukan karena kemarin saya takut. Sama sekali tidak. Sebagai sesama warga negara asli kampung, saya tak sedikitpun takut mengkritik Presiden. Karena saya tahu betul sang Presiden sangat memahami isi hati saya yang memang berasal dari kampung yang hingga kini tak tersentuh listrik PLN, air PDAM dan jalan raya beraspal.

Bila Presiden Joko Widodo berasal dari Solo, Jawa Tengah, maka saya berasal dari Kampung Cereng, Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Jadi, saya dan Presiden sebetulnya sama. Sama-sama orang kampung. Orang kampung sangat paham isi hati orang kampung.

Langsung saja. Kalau Presiden pemberani, mestinya tak usah pidato dan marah-marah begitu. Rakyat malu dan mual juga menonton pemimpin semacam itu. Silahkan langsung pecat saja menteri yang tak mampu atau gagal menjalankan tugas dan lamban dalam mengeksekusi kebijakan Presiden.

Bila Presiden pemberani, silahkan ambil langkah tegas. Sekalian bubarkan saja lembaga yang tak efektif dan lamban dalam menjalankan tugas dan fungsi. Jangan takut bila mereka melawan dengan jejaring di sektor politik dan bisnis. Kalau mau sikat, langsung saja disikat mereka itu. Apalagi keberadaannya justru bikin lamban jalannya pembangunan, termasuk bikin lamban upaya pencegahan atau penanggulangan Covid-19, langsung bubarkan saja lembaga itu!

Kalau marah-marah, malah Presiden terlihat sekali lemah atau ketidakmampuannya dalam mengkoordinasi dan menggerakan ritme bawahannya dalam menjalankan tugas dan fungsi. Sikap semacam itu malah menjadi saksi paling autentik betapa Presiden gagal menjadi stabilisator bagi timnya sendiri.

Presiden dalam banyak kasus dan isu nasional terkesan dan terlihat ragu alias tidak berani. Presiden terlihat takut bersikap kepada partai politik dan pengusaha yang kerap membayangi dirinya. Padahal kita menganut Presidensialisme, dimana Presiden memegang kendali juga penentu utama bagi berjalannya pemerintahan.

Sudahlah, Presiden jangan marah-marah lagi. Habisin waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tak produktif. Jangan terjebak dalam agenda jangka pendek partai politik dan pengusaha yang punya kepentingan dalam Pemilu 2024 mendatang. Presiden fokus saja menjalankan apa yang seharusnya dijalankan.

Presiden tak ikut-ikutan konflik seputar diskursus dasar negara yang sekadar jadi isu musiman. Saya ingatkan, isu itu sangat tidak produktif. Karena itu, jangan terjebak oleh dan dalam sandera kepentingan musiman semacam itu. Jadilah Presiden yang mandiri dan punya sikap sendiri. Merdeka dari agenda sesaat kelompok tertentu.

Presiden juga tak usah sibuk pada citra. Jadilah Presiden yang autentik. Apa adanya dan bukan ada apanya. Bukan sekadar pada keterpilihan tapi juga dalam keberanian sikap. Kepemimpinan itu tak diukur dari sekadar banyaknya orang yang memilih, tapi juga oleh kenyamanan warga negara dari parade pencitraan yang kadang bikin mata kelilipan.

Presiden silakan akhiri kepemimpinan pada 2024 nanti dengan menerima riuh tepuk tangan rakyat, bukan dengan muka masam dan marah-marah demi selera mereka yang memiliki agenda jangka perut. Tapi kuncinya sekarang hingga empat tahun berjalan ke depan. Jaga ritme dan agenda produktif, dan jangan terjebak pada isu picisan.

Saya ingatkan, kalau masih terjebak pada agenda jangka perut, maka Presiden kehilangan autentititasnya dalam sejarah perjalanan politik bangsa. Kalau itu yang terjadi, maka saya dan banyak orang di luar sana termasuk orang-orang di kampung bakal semakin percaya bahwa Presiden memang penakut alias ragu.

Presiden tak mau dikenang sebagai Presiden penakut kan? Solusinya sederhana saja. Silahkan jadi Presiden pemberani! Berani bertindak tegas kepada pejabat yang gagal dan lamban menjalankan pembangunan. Termasuk pembangunan di pelosok negeri ini, termasuk di kampung saya yang hingga kini belum tersentuh listrik PLN, air PDM dan jalan raya beraspal.

Bangsa dan negara ini butuh sosok pemimpin yang berani dan tidak ragu atau takut. Indonesia butuh Presiden yang berani memecat pejabat yang lamban dan gagal menjalankan mandat. Presiden yang tidak saja ramai pada pidato bernada marah, tapi mestinya ramai dalam mengambil sikap revolusioner. Itu baru Presiden pemberani, bukan peragu! (***)

Semua isi tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.

Pos terkait