Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Mencintai Politik” dan Pendiri Komunitas “Cereng Menulis”
SEPERTI biasa, saya tak hadir dengan setumpuk teori. Bukan karena malas menghadirkan teori, tapi kadang berteori panjang membuat pembaca jadi malas baca. Makanya saya langsung to the point saja. Itu lebih mantap dan menarik bagi pembaca.
Semua paham dan maklum bahwa karena dampak bencana non alam: Covid 19, Pilkada yang rencananya diselenggarakan pada 9 September 2020 diundur menjadi 9 Desember 2020. Pemerintah dan penyelenggara Pemilu sudah menetapkan demikian.
Seingat saya, yang mengikuti Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 nanti ada 270 daerah yang terdiri dari propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang memang mengikuti Pilkada Serentak tahun ini.
Sebagai sebuah pesta, Pilkada Serentak pun meniscayakan begitu banyak kalangan mau terlibat bahkan ikut maju. Berbagai cara dan langkah pun sudah mulai diaksikan selama hampir setahun terakhir.
Termasuk melakukan komunikasi politik lintas jejaring, demi terkabulkannya hasrat maju di pesta politik terbesar kedua setelah Pilpres dan Pileg ini. Hal ini tentu saja sebuah kemajuan berarti dan punya nilai pendidikan politik tersendiri. Namun bila salah kaprah, malah yang terjadi sebaliknya.
Dalam banyak momentum saya menyaksikan para pendukung bakal calon peserta Pilkada Serentak sibuk memuji dan memuja bakal calonnya tanpa koreksi dan kritik. Sehingga kekurangan dan keterbatasan bakal calon yang begitu telanjang tak dievaluasi untuk pembenahan langkah selanjutnya.
Pendukung alias massa semacam ini terlihat dan dicitrakan sebagai pendukung fanatik, padahal ternyata merekalah yang membuat bakal calon menjadi gagal dalam banyak sisi di Pilkada Serentak. Mereka jago memamer dukungan hanya sekadar ikut-ikutan ramai.
Bahkan mereka pandai berbusa di depan bakal calon dengan berbagai pemanis. Puji dan puja dalam beragam judul diaksikan berkali-kali demi memuaskan bakal calon. Naifnya, bakal calon lebih suka pada aksi politik manipulatif semacam ini daripada aksi politik yang jujur.
Mereka terlihat membawa madu yang manis dan membuat bakal calon tersenyum, padahal substansinya adalah racun yang mematikan bakal calon bahkan diri mereka sendiri. Cuma praktik politik semacam ini dianggap “wah”, akhirnya tak dianggap masalah.
Kritik publik pun dianggap sepele bahkan dianggap sebagai upaya penjegalan dari lawan politik. Padahal suara publik adalah penyeimbang dinamika bahkan kerap lebih jujur dalam mengungkap kelemahan dan kekurangan bakal calon dan massa pendukung itu sendiri.
Saya memfirasati massa semacam ini adalah massa yang tak paham strategi politik. Mereka terjebak dalam kubangan fanatisme buta yang bukan saja mematikan aksi politik mereka di lapangan, tapi juga menghalangi bakal calon yang mereka usung mendapatkan dukungan politik.
Dalam dimensi yang lebih jauh, bakal calon semacam ini besar kemungkinan sulit mendapat dukungan dari berbagai partai politik untuk memenuhi syarat pencalonan. Desas desus dukungan yang selama ini dipamerkan oleh beragam partai politik besar kemungkinan hanya sebuah proses mencari, bukan benar-benar mendukung.
Solusinya ada dua yaitu, pertama, massa pendukung mesti kritis terhadap bakal calon, dan kedua, bakal calon tak mudah sumringah karena dipuji dan dipuja basis massa. Bila massa dan bakal calon siap menerima saran publik, itu malah lebih baik dan bakal berdampak baik bagi upaya memenangkan pertarungan politik.
Partai politik yang tidak konsisten pun mestinya tidak menjadi duri dalam daging bagi bakal calon mana pun. Proses politik memang masih dalam bingkai penjajakan. Namun langkah dan sikap yang hipokrit alias berwajah ganda hanya akan menjadi bom waktu yang berbahaya. Kelak bukan saja mematikan langkah bakal calon tapi juga partai politik sendiri.
Kunci penting semua ini adalah bakal calon yang cerdas dan teliti. Bakal calon tak boleh mudah percaya pada basis massa dan partai politik. Mendengar itu perlu. Tapi meng-iya-kan semua pujian dan pujaan basis massa dan partai politik tanpa seleksi adalah bunuh diri politik yang paling nyata.
Biasanya bahaya pujian dan jebakan percaya diri yang melampaui batas akan terasa kelak di saat momentum berakhir. Saling sikut dan sikat pun bakal terjadi. Suasana akrab dan solid yang sering dipamerkan di berbagai media massa dan media sosial bakal jadi kenangan buruk yang susah diobati.
Bila kondisi semacam ini tidak diantisipasi dan tidak ada upaya menemukan jalan keluar sejak dini, maka ini adalah tabungan paling apik dalam menghadirkan dinamika politik yang tidak lucu tapi sangat rapuh. Biangnya sederhana namun berbahaya: suka dipuji dan surplus percaya diri.
Masih mau di posisi dan aksi politik semacam itu? Masih merasa nyaman dengan pujian dan percaya diri yang terpaksa? Mendingan mundur dan bubar. Biar waktu, tenaga, pikiran dan uang tak sia-sia alias mubajir. Itu pun bila masih punya akal sehat. Bila tidak, saya ucapkan: selamat menikmati jebakan pendukung dan percaya diri yang semakin naif. (***)