Penulis : Gregorius Ganggur (Guru SMAN 1 Satarmese)
Corona Virus Disease Nineteen (Covid-19) telah melumpuhkan semua tatanan aspek kehidupan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Indonesia pun tidak luput dari keganasan virus ini. Penyebarannya begitu cepat. Lewat Satuan Tugas (Satgas) pemerintah melakukan berbagai upaya menangani Covid-19 seperti pemberlakuan social distancing/physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Physical Distancing dan PSBB berakhir tanpa mengakhiri angka tertular Covid-19 di seluruh nusantara. Dampak Covid pun berimbas pada pendidikan. Kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah diberhentikan.
Pemerintah lewat Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease Nineteen (Covid-19) memerintahkan agar peserta didik belajar dari rumah. Hajatan Ujian Nasional (UN) tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sudah terjadwal oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun harus ditiadakan lebih awal dari keputusan semula yang memberhentikan Ujian Nasional pada tahun 2021.
Dunia pendidikan Indonesia bagaikan sebuah kapal yang berada dalam hantaman badai dahsyat. Rencana pembelajaran yang tersampul rapi dalam perangkat pembelajaran para pendidik seolah tak bermakna. Semua pendidik terutama para pendidik di pelosok nusantara mengalami goncangan hebat dalam mencapai tujuan akhir proses pembelajaran. Ruang kelas tidak lagi menjadi tempat favorit dalam melakukan aktivitas belajar mengajar, melakukan evaluasi dan penilaian terhadap suatu proses pembelajaran. Lalu bagaiamana melakukan kegiatan pembelajaran, evaluasi dan penilaian terhadap peserta didik? Apakah para pendidik berdiam diri dan berharap peserta didik melakukan belajar mandiri di rumah? Lalu bagaimana pendidik melakukan penilaian hingga menuliskan angka pada laporan hasil belajar peserta didik di akhir semester?
Sederetan pertanyaan tersebut adalah beberapa dari banyak permasalahan dalam pembelajaran dari rumah (Learning from Home) yang dialami oleh penulis selama Covid-19. Mengharapkan peserta didik agar belajar secara mandiri di rumah selama masa Covid adalah suatu keniscayaan. Sebagian besar peserta didik salah menginterpretasi belajar dari rumah.
Peserta didik berasumsi belajar dari rumah adalah sama dengan kata libur. Pembatasan fisik atau jarak antara pendidik dan peserta didik malah akan memperburuk perkembangan kognisi, skill dan afeksi peserta didik manakala pendidik terus berharap anak didiknya belajar mandiri di rumah. Sehingga kehadiran seorang pendidik dalam situasi pembatasan jarak dan fisik sangat dibutuhkan untuk sekadar mengingat, membimbing dan memotivasi mereka.
Perkembangan media informasi dan teknologi telah sangat membantu pendidik untuk merealisasikan hal tersebut. Terdapat banyak media informasi dan teknologi dapat membantu pendidik dalam menjaga interaksi dan pembelajaran dengan peserta didik. Ketersediaan dan kemudahan fasilitas tersebut tentunya akan bernilai guna manakala seorang pendidik melek terhadap teknologi. Namun demikian keterpahaman terhadap teknologi hanya akan berkembang ketika seseorang memiliki literasi digital yang cukup. Sehingga ketika seorang pendidik telah memilikinya, akan dapat membantu dirinya dalam berinteraksi dan melakukan proses pembelajaran walaupun ada pembatasan antara pendidik dan peserta didik.
Penggunaan media informasi dan teknologi dimaksud tentu saja dengan tetap mempertimbangkan akses dan ketersediaan bagi peserta didik. Pemilihan media harus didasari pada media mana yang lebih populer dan tidak memberatkan peserta didik. Penggabungan beberapa media tentu akan memberikan nilai lebih dalam mencapai tujuan pembelajaran. Saya teringat kritikan pedas seorang pengamat pendidikan beberapa bulan lalu. Menilai sebagian besar pendidik kurang memiliki keterpahaman teknologi dan literasi digital. Secara pribadi penulis ingin mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh pengamat tersebut benar.
Tidak sedikit pendidik merasa sudah cukup dengan ilmu yang telah dipelajarinya. Tidak sedikit pendidik menyatakan diri sebagai pendidik yang bukan terlahir di era milenial. Tidak sedikit pula pendidik termasuk penulis berdalil ketiadaan sarana menjadi penyebab ketidakmelekan informasi dan teknologi. Tanpa disadari bahwa informasi dan teknologi telah hadir dalam bentuk yang cukup sederhana dan cukup terjangkau. Hadirnya device dalam bentuk android setidaknya mampu mengurangi dalil ketiadaan sarana.
Oleh karena itu, tidak ada kata terlambat, tidak ada terlalu tua untuk memulai. Menjadi pendidik bukan lagi berharta ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah sebagai modal dalam mendidik. Ilmu pengetahuan juga ibarat sebuah aplikasi yang membutuhkan up-grade dan up-date. Melakukan up-grade dan up-date tidak harus melalui pelatihan dan kursus, hal tersebut bisa dilakukan dengan cukup melek informasi dan teknologi terkini.