Oleh: Heri Rusmana
(Kabid Perpustakaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan)
Sejak awal Maret 2020, dampak pandemi Covid-19 di Indonesia nyata di berbagai sektor kehidupan. Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di 100 perusahaan penerbitan buku menyebutkan, selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebanyak 58,2% penerbit mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen (Kompas, Mei 2020). Sedangkan 29,6% mengalami penurunan penjualan 31-50%, 8,2% mengalami penurunan 10-30%, dan hanya 4,1% penerbit yang penjualannya stabil seperti hari hari biasa.
Penurunan ini, bisa jadi terkait dengan kebijakan pembatasan sosial yang berpengaruh terhadap pekerjaan dan daya beli. Namun, realitas penjualan buku ini, ternyata berbanding terbalik dengan akses masyarakat terhadap perpustakaan secara dalam jaringan (daring).
Layanan Perpustakaan
Pemerintah memang membuat kebijakan pembatasan sosial dengan kampanye tetap di rumah saja, termasuk bekerja dari rumah (work from home/WFH) demi memutus mata rantai persebaran Covid-19. Banyak instansi penyelenggara layanan publik membatasi layanannya, tak terkecuali perpustakaan yang meniadakan kunjungan langsung ke perpustakaan.
Namun, bagi perpustakaan berbasis online, seperti IPusnas milik Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, tidak terlalu berpengaruh. Bahkan berdampak positif. Masyarakat tetap dapat mengakses koleksi perpustakaan secara full text, di mana saja dan kapan saja. Sekadar informasi, IPusnas merupakan produk koleksi konten digital dengan koleksi sebanyak 50.348 judul dan 591.739 eksemplar buku yang bisa dibaca dan disimpan sampai batas waktu yang ditentukan.
Rupanya, selama pandemi Covid-19, pengguna layanan digital Perpusnas mengalami kenaikan sebesar 130%. Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, di hadapan komisi X DPR RI memaparkan, pada periode 8-14 Maret, jumlah pengunduh IPusnas sebanyak 8.238, lalu melonjak tajam pada periode 29-4 April, yang mencapai angka 42.645 (Berita Satu, 17/4/2020).
Data-data itu menunjukkan bahwa layanan perpustakaan berkonten digital diminati dan menjadi alternatif selama pembatasan sosial. Meskipun tanpa layanan tatap muka dan harus pergi ke perpustakaan, orang mau mengisi waktunya dengan membaca buku untuk mengusir kejenuhan sekaligus menambah wawasan dan referensi.
Kenormalan Baru.
Pandemi Covid-19 secara tidak langsung memberikan pembelajaran bagi pustakawan yang sehari-hari mengelola perpustakaan. Pengelola perpustakaan diingatkan akan pentingnya inovasi agar hak pengguna layanan tetap terpenuhi. Dalam kesempatan ini, penulis mengajukan tiga konsep yang mungkin dapat diterapkan di perpustakaan pada era kenormalan baru.
Pertama, penerapan e-Library atau digital library, dengan mengambil contoh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang dilakukan Perpusnas, dan beberapa provinsi, termasuk Sulawesi Selatan. Sudah saatnya layanan perpustakaan yang konvensional bertransformasi digitalisasi. E-Library dalam konteks perpustakaan mencakup penyimpanan data, baik itu buku, jurnal, gambar hidup, gambar, rekaman suara, dan sejenisnya dalam bentuk file elektronik.
Kedua, closed access dan drive through service. Ide ini penulis adopsi dari layanan makanan cepat saji. Untuk bisa menjalankan layanan ini di perpustakaan maka perpustakaan harus menyediakan aplikasi yang bisa diakses anggota perpustakaan, dengan catatan anggota itu harus terlebih dahulu memesan bukunya. Jadi, anggota perpustakaan bersangkutan menjemput buku yang akan dipinjam tanpa harus masuk ke ruang layanan perpustakaan dan buku yang akan dipinjam telah disiapkan oleh pustakawan pada tempat yang telah disediakan. Syarat layanan ini, adalah perpustakaan harus memiliki database koleksi yang akurat sehingga dapat diakses secara online. Perpustakaan harus menyimpan semua koleksi ke pangkalan data buku berbasis web, supaya informasi buku pada pangkalan data itu dijadikan panduan untuk memilih koleksi yang akan dipinjam oleh anggota perpustakaan.
Ketiga, delivery order service yang penulis adopsi dari konsep layanan pengantaran makanan ojek online. Pada layanan jenis ini, perpustakaan menyediakan aplikasinya bagi anggota, yang persyaratan dan sistem layanannya hampir sama dengan model layanan kedua. Perbedaannya, yakni pengguna atau anggota perpustakaan tinggal di rumah dan pihak perpustakaan mengirim buku yang dipinjam melalui jasa pengantaran buku. Pengelola perpustakaanlah yang proaktif memberikan layanannya agar masyarakat penerima manfaat terlayani kebutuhannya.
Ketiga model layanan ini pada prinsipnya bertujuan untuk tetap memenuhi hak masyarakat mendapatkan layanan perpustakaan, yang diamanatkan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Inovasi menjadi tuntutan agar perpustakaan adaptif terhadap setiap perubahan. Apalagi kita telah dimudahkan dengan kemajuan teknologi, tinggal bagaimana pustakawan dan perpustakaan memanfaatkannya demi terus menjaga nyala gerakan literasi, di mana perpustakaan sebagai episentrumnya. (***)