Oleh Heri Rusmana
(Pustakawan pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan)
Dalam rentang beberapa bulan, di tahun 2020 ini kita disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan. Bagaimana tidak, bencana alam banjir menimpa sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan, mulai dari Bantaeng, Luwu Utara, Wajo, dan Sidrap. Catatan terkait bencana banjir jika mau dirunut pada tahun-tahun sebelumnya, juga pernah menimpa Jeneponto, pada Januari 2019, dan Sinjai di bulan Juni 2006. Deretan bencana banjir itu bukan saja merendam permukiman penduduk, tapi juga area persawahan, kebun dan tambak, merusak infrastruktur dan fasilitas layanan publik, serta ada pula yang menelan korban jiwa. Salah satu yang juga mengalami kerugian, yakni gedung perpustakaan, berikut sarana, dan koleksi perpustakaan yang ada di dalamnya.
Koleksi Rusak
Dampak bencana terhadap perpustakaan bisa dilihat saat banjir menghantam Bantaeng. Ribuan judul buku rusak parah, dan kemungkinan tidak bisa dibaca lagi. Begitupun di Luwu Utara. Koleksi perpustakaan rusak akibat air yang bercampur lumpur merendamnya. Pelayanan publik yang berkaitan dengan perpustakaan lumpuh, tidak dapat berjalan seperti biasanya. Saat terjadi bencana banjir di Jeneponto dan Sinjai, perabot dan koleksi perpustakaan rusak tak berbentuk. Di Sinjai lebih parah lagi, karena tidak satu pun buku yang bisa terselamatkan. Sehingga Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI terpanggil turut tangan untuk membantu menyelesaikan persoalan perpustakaan yang terdampak bencana.
Pertanyaannya kemudian, mengapa perpustakaan tidak luput dari bencana banjir? Jawabnya ada beberapa menurut penulis. Pertama, gedung perpustakaan sejak awal tidak didesain untuk mengantisipasi apabila terjadi banjir. Kedua, kebanyakan Dinas Perpustakaan menempati gedung bekas dinas/kantor lain. Mirip pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi. Dengan kata lain, pemerintah tidak merencanakan untuk menyediakan fasilitas ruang layanan perpustakaan, pengolahan buku, pemeliharaan buku, ruang staf dan ruang yang mendukung aktivitas perpustakaan lainnya, begitu dibentuk Dinas Perpustakaan.
Ketiga, kelembagaan perpustakaan dan kearsipan di kabupaten/kota yang sudah berbentuk dinas, sayangnya tidak dibarengi dengan ketersedian gedung yang cukup memadai, sesuai standar perpustakaan.
Begitulah kondisi gedung perpustakaan di banyak kabupaten/kota, yang kondisinya memprihatinkan. Gedung perpustakaan itu, ada yang mirip tempat tinggal/rumah –atau bisa jadi rumah yang dijadikan perpustakaan– ada yang seperti ruang sekolah, atau bekas gedung organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya.
Kondisi ini pernah dikritik oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Prof. Nurdin Abdullah, saat membuka Rapat Koordinasi Perpustakaan dan Kearsipan Nasional se-Sulawesi Selatan, di Makassar, tahun 2018. Gubernur yang namanya biasa ditulis singkat NA itu, berharap agar fasilitas perpustakaan bisa lebih representatif. Dia mengeritik program perpustakaan yang seakan-akan bukan menjadi prioritas. Padahal, kita selalu bicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa (Fajar.co.id, 20/10/2018).
Standar Gedung Perpustakaan
Perpusnas RI sebenarnya telah menerbitkan beberapa standar gedung perpustakaan, salah satunya standar gedung perpustakaan umum. Dalam Peraturan Kepala Perpusnas Nomor 8 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota itu, disebutkan bahwa gedung perpustakaan harus memiliki tempat yang terdiri dari sejumlah ruangan, yang mana tiap-tiap ruangan mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Ruang perpustakaan merupakan tempat yang disediakan untuk perpustakaan, yang harus terpisah dari aktivitas lain. Selain itu, pembagian ruangan harus disesuaikan juga dengan sifat kegiatan, sistem kegiatan, jumlah pengguna, jumlah staf, dan keamanan tata kerja, sehingga kelancaran kegiatan dalam perpustakaan tersebut berjalan efektif (Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan, 2000).
Di samping Perpusnas, ada juga standar gedung perpus berbasis ISO/TR 11219:2012. Standar ini memberikan panduan untuk menentukan perencanaan bangunan/gedung perpustakaan. Selain itu, juga memberikan panduan tentang pemilihan peralatan teknis untuk area fungsional yang berbeda di dalam perpustakaan yang akan dibangun. Standar tersebut memberikan panduan untuk perencanaan bangunan perpustakaan dengan mengidentifikasi kebutuhan ruang dan peralatan teknis. Tujuan standar gedung lainnya, yakni agar dapat mendukung pengambilan keputusan bagi pustakawan, arsitek, dan lembaga pembiayaan dalam perecanaan bangunan/gedung perpustakaan.
Dalam rangka untuk merencanakan bangunan baru atau proses rekonstruksi pascabencana, dibutuhkan data lengkap untuk membantu menghitung kebutuhan ruang dan peralatan teknis bangunan perpustakaan yang akan dibangun kembali. Karena gedung perpustakaan yang akan didirikan kembali itu harus mampu difungsikan untuk menyimpan koleksi perpustakaan. Perlu juga dialokasikan ruangan untuk area pengguna yang cukup memadai, serta area kerja untuk operasional staf perpustakaan. Sejauh ini, data-data seperti itu, belum tersedia dalam standar yang ada di Indonesia.Standar ISO 11219 lebih ketat lagi. Karena mencakup aspek teknis, seperti keamanan dan keselamatan sistem, pembebanan lantai, sistem transportasi, kondisi akustik ruangan, sistem pencahayaan agar nyaman bagi pembaca, serta kabel dan masalah konstruksi yang mesti bebas hambatan dan berkelanjutan.
Sudah sepatutnya bencana alam, seperti banjir, yang bisa datang kapan saja diantisipasi dengan membangun gedung perpustakaan yang layak, artistik, dan membanggakan. Pemerintah, sebagaimana harapan Gubernur Sulawesi Selatan, mesti menjadikan gedung perpustakaan sebagai sarana layanan publik yang nyaman di setiap kabupaten/kota. Gedung-gedung perpustakaan tersebut, sebaiknya didesain untuk meminimalisasi kemungkinan terburuk akibat bencana alam, baik itu banji atau gempa.
Lihat saja, perpustakaan-perpustakaan dunia yang mampu bertahan, salah satunya Perpustakaan Al-Qarawiyyin di Maroko yang oleh Unesco disebut sebagai perpustakaan tertua di dunia, yang masih berjalan sejak dibuka. Perpustakaan ini dibangun oleh seorang sarjana perempuan progresif muslim bernama Fatima al Fihri, pada tahun 859. Upaya membangun gedung perpustakaan yang kokoh dan memadai, tak lain karena untuk menyelamatkan dokumen sejarah dan pemikiran-pemikiran yang berguna bagi keberlangsungan peradaban manusia.(*)








