Senin, 3 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo mengatakan, transformasi digital di Indonesia masih kalah dari negara-negara di Asia Tenggara atau ASEAN.
Jokowi merujuk pada hasil survei Institute for Management and Development (IMD) yang menunjukkan Indonesia berada di posisi 56 dari 63 negara.
Survei lembaga IMD (Institute for Management and Development) World Digital Competitiveness pada 2019, negara kita masih di peringkat 56 dari 63 negara ini. Memang kita di bawah sekali, lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga kita, dikutip dari Kompas, 3/8/2020.
Adapun Thailand berada di posisi 40, Malaysia di posisi 26, dan Singapura di posisi kedua. Jokowi menekankan bahwa hal itu harus menjadi perhatian seluruh pihak untuk terus mengembangkan transformasi digital di Indonesia.
Untuk itu, ia mengatakan, pemerintah akan memperluas jejaring infrastruktur digital di seluruh Indonesia untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Jokowi menargetkan perluasan akses layanan internet di 12.500 desa serta kelurahan-kelurahan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu, lanjut Presiden, pemerintah berencana memasifkan transformasi digital dalam keseluruhan layanan pemerintahan. Dengan demikiam transformasi digital yang dilakukan tidak sia-sia.
Presiden memaparkan bahwa harus dipersiapkan betul road map transformasi digital di sektor strategis baik di pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor perdagangan, sektor industri, sektor penyiaran. Jangan sampai infrastruktur digital yang sudah kita bangun justru utilitasnya sangat rendah.
Dalam tataran normatif pernyataan presiden benar adanya namun dalam tataran implementasi biasanya tidak sesuai dengan kenyataan.
Dalam konteks layanan perpustakaan masih banyak yang memiliki aplikasi secara parsial dan belum terintegrasi dengan baik. Meskipun aturan pelaksanaan telah dibuat, misalnya Pelaksanaan SIPP diatur dalam Peraturan Menteri PANRB No.13/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Informasi Pelayanan Publik Nasional.
Pelayanan yang cepat, mudah, terjangkau, serta berkualitas adalah harapan dan dambaan pemustaka ketika berhubungan dengan layanan perpustakaan. Hal ini terungkap dalam beberapa survei maupun wawancara terhadap pemustaka yang kebetulan berkunjung ke perpustakaan beberapa waktu lalu di DPK Prov. Sulsel.
Pelayanan yang cepat, mudah, terjangkau, serta berkualitas memang harus dilakukan oleh perpustakaan kepada masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan transformasi pelayanan perpustakaan ke arah digital untuk mempercepat dan memudahkan pelayanan kepada masyarakat.
Digitalisasi pelayanan perpustakaan menjadi keniscayaan dalam upaya meningkatkan transparansi dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam kondisi pandemi Covid-19 dan kenormalan baru.
Pelayanan perpustakaan dengan sistem digital atau daring menjadi hal yang utama dalam era new normal. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan bersamaan dengan adanya pandemi Covid-19, berbagai pertemuan tatap muka akan semakin berkurang.
Meskipun demikian pelayanan yang bersifat elektronik menjadi keharusan bagi perpustakaan khususnya dalam kondisi pandemi Covid-19. Tetapi juga harus tetap diperhatikan bahwa layanan yang diberikan standar pelayanannya benar.
Menurut Undang-Undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, ada 14 komponen dalam standar pelayanan yang menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Komponen tersebut dibagi menjadi dua, yaitu service delivery dan manufacturing. Komponen service delivery wajib disusun dan dipublikasikan, yaitu persyaratan, prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk layanan, dan penanganan pengaduan.
Sementara komponen manufacturing wajib disusun, namun tidak wajib dipublikasikan, yakni dasar hukum, sarana prasarana, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, serta evaluasi kinerja pelaksana. Standar pelayanan inilah yang menjadi acuan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Terkait dengan transformasi pelayanan di tengah kondisi pandemi Covid-19, saat ini orientasi sebagian masyarakat sudah sangat berbeda. Menurut pandangan masyarakat/pemustaka, pandemi Covid-19 menyadarkan kita bahwa hanya pelayanan daring yang bisa survive atau bertahan di tengah kondisi saat ini, meskipun beberapa layanan tatap muka sebagian pasti ada. “Tetapi umumnya semestinya kita tidak kembali ke pelayanan yang sifatnya konvensional. Harus sudah mulai dibangun pelayanan-pelayanan yang berbasis TIK”.
Oleh karena itu, hal penting yang harus menjadi perhatian bagi penyelenggara layanan perpustakaan adalah partisipasi masyarakat atau pemustaka.
Perpustakaan harus menempatkan pemustaka sebagai input kebijakan. Perpustakaan harus membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat atau pemustaka untuk memberikan koreksi, usulan, dan pandangan terkait standar dan pelayanan yang telah diberikan.
Jadi perpustakaan bisa masuk lebih dalam untuk melihat apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau pemustaka.