Sepenggal Cerita Menyambut HUT Kemerdekaan RI Ke 75 Tahun, 17 Agustus 2020
ARLISAKADEPOLICNEWS.COM—JAYAPURA. Siang itu, Senin (17/08/2020) cuaca di Dermaga Pato, Kampung Kwadeware, Sentani tampak cerah. Matahari belum terlalu terik sinarnya, sesekali angin berhembus dan terasa sejuk di kulit. Duduk seorang pria paruh baya. Dari raut wajah dan penampilannya, usianya belum terlalu tua. Ia mengenakan celana pendek berwarna dengan setelah kaos berkerah dan sebuah kantong kecil meyilang di bahunya.
Sambil memegang sebuah anak kunci dan memainkannya ia duduk sambil melihat orang-orang yang hilir-mudik di dermaga. Penampilannya sederhana, seperti kebanyakan orang yang ada di sana. Sederhana tampilannya, namun siapa sangka pria ini begitu ramah, ketika penulis menghampiri dan menyapanya.
“selamat siang bapa…? dijawab ramah pula “selamat siang anak, bagaimana ada yang bisa dibantu? ujarnya memulai pembicaraan ketika penulis menghampirinya. Sejenak penulis memperkenalkan diri dan memulai obrolan kami.
Dari obrolan ringan yang tak tentu arah itu, barulah diketahui kalau pria pemilik nama Kamoi Marbase ini adalah Sopir (driver) angkutan umum Toware-Terminal Pasar Baru, Sentani PP. Meski demikian, jangan dulu berprasangka buruk, sebab angkutan umum yang diawakinya itu adalah milik pribadi. Ia membelinya dengan uang simpanannya dari hasil keringatnya sebagai nelayan di Danau Sentani.
Menurut Kamoi Marbase, uang untuk membeli mobilnya, dikumpulkannya cukup lama, sebab ia ingin mengubah nasib, dan ingin membuktikan kepada orang lain bahwa dirinya mampu membeli kendaraan dan ia sendiri yang akan menyetirnya.
Dikatakan, alasannya membeli mobil, karena keadaan ketika itu yang cukup sulit untuk menjangkau kota Sentani dari Kwadeware. Pasalnya, saat itu, ikan hasil tangkapannya jika mau dibawa ke kota butuh waktu tiga sampai enam jam. Mereka harus membawanya dari Dermaga Pato, Kwadeware, memasuki Toware dan berjalan kaki menuju Kehiran dan sampai ke pasar lama di Kota Sentani.
”Kami biasanya keluar pagi-pagi nanti sampai di pasar sudah siang antara jam 10.00 atau jam 11.00 siang”, tuturnya mengenang masa itu.
Dalam situasi yang cukup sulit itu, ia terus perpegang pada komitmennya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, sehingga usai anak-anaknya bersekolah ia berunding dengan mereka dan meminta pertimbangan untuk wujudkan keinginannya. Perbedaan pendapat dalam keluarga adalah hal yang lumrah. Tak heran anak-anaknya ada yang setuju tetapi ada juga yang tidak mendukung niatnya. Akhirnya berbekal semangat dan komitmennya ia akhirnya bisa mewujudkan impiannya untuk membeli mobil.
Seiring waktu berjalan Kamoi Marbase yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan yang hanya mencari ikan di Danau Sentani, mulai mengumpulkan uang dari hasilnya mencari. Ikan yang didapatnya dijual ke Pasar Sentani, kemudian pendapatannya disisihkan untuk belanja keluarga, biaya sekolah anak-anaknya dan selebihnya disimpan.
Cukup lama, ia mengumpulkan uang untuk wujudkan keinginannya, hingga tahun 2006 ketika Pemerintah Kabupaten Jayapura membuka jalur baru dari Kwadeware-Kehiran-Sentani dan Kwadeware Doyo Lama, ia akhirnya mendapatkan kesempatan itu. Ia membeli mobil angkutan pedesaan yang telah lama didambakannya.
Usahanya untuk mendapatkan mobilnya tampaknya tidak mudah, karena ia harus menunggu sampai 6 bulan karena mobil yang telah dipesannya keburu dibeli orang, akibatnya ia harus menunggu lagi untuk jangka waktu yang dijanjikan, hingga akhirnya waktu itu tiba dan ia dihubungi dealer Toyota Jayapura untuk menandatangani kontrak untuk pengambilan barangnya.
Singkat cerita, Kamoi Marbase, pria Sentani asal Kampung Kwadeware, adalah orang pertama dari kampungnya yang berhasil mempunyai kendaraan sendiri.
Setelah memiliki mobil tersebut, ia memilih berhenti menjadi nelayan dan menjalani “karier barunya” sebagai sopir yang setiap saat melayani penumpang dari Kwadeware-Toware-Terminal Pasar Baru Sentani. Rute ini telah puluhan tahun dijalaninya. Sampai tiga kali ia berganti kendaraan sejak tahun 2006-2020.
Menurutnya, kendaraan angkutan umum yang sekarang dimilikinya ini adalah kendaraannya yang ketiga. Meski ia dan istrinya menetap di Kampung Kwadeware, ia telah membuktikan semangatnya untuk mencapai cita-citanya.
Dalam perjumpaan itu, Kamoi Marbase mengaku cukup bangga atas apa yang telah dicapainya. Ia mampu memiliki kendaraan dan bisa melayani orang banyak, itu karena anugerah Tuhan.
”…Karena Anugerah Tuhan, saya dan keluarga bisa mencapai apa yang kami rindukan”, ujarnya.
Merasa adanya penyertaan Tuhan dalam hidupnya, maka ia memberi tanda pada kaca depan mobilnya dengan tulisan “Haleluyah”. Tulisan itu, kata Kamoi Marbase, sebagai simbol bahwa hidupnya bersama keluarganya harus bisa memuji Tuhan karena apa yang diperolehnya berasal dari Tuhan.
“…makanya saya tulis Haleluyah supaya mengingatkan saya setiap hari untuk memuji Tuhan”, ujarnya sembari tersenyum ramah.
Meski cerita belum selesai, tapi Kamoi Marbase harus segera meninggalkan Dermaga Pato, Kwadeware menuju Sentani karena penumpangnya telah lama menunggu.
Kisah Kamoi Marbase ini, tampaknya menjadi cerita penuh inspirasi bagi generasi muda saat ini bahwa untuk mencapai cita-cita, tidak bisa diperoleh dengan gampang. Butuh perjuangan dan kerja keras. Pantang menyerah terhadap tantangan setiap saat.
Selain berjuang, komunikasi dan dukungan dari istri dan kelima anaknya maka usaha dan kerja kerasnya membuahkan hasil yang menggembirakan.
Dalam moment Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini, biarlah kisah nelayan paruhbaya dari Danau Sentani ini dapat mengispirasi semua generasi muda Papua untuk tetap semangat dalam upaya mencapai cita-citanya.(***)