Penulis : Syamsul (Jurnalis Arlisakadepolicnews.com)
Sejak awal tahun 2020 ini, dunia dikejutkan dengan merebaknya isu Corona Virus Disease-2019 yang lebih dikenal dengan istilah Covid-19, yang awal kemunculannya ditengarai dari Provinsi Hubei, Wuhan, Tiongkok, China. Penyebaran Covid-19 ini tentu saja membuat segalanya berubah dalam rentang waktu singkat. Seakan tak mengenal ampun, virus maut ini menyerang siapa saja tanpa memandang bulu. Ia tidak memilih orang apalagi mengenal belas kasihan. Tak heran korbanpun berjatuhan tanpa mengenal ampun. Entah pejabat negara, kalangan militer, tokoh suci nan kudus dari sebuah keyakinan pun tak luput dari terpaan virus ini. Mengerikan memang.
Tidak sedikit negara-negara di dunia terancam bangkrut karena ekonominya nyaris mati suri, tak luput, Indonesia. Pertanyaannya, mengapa bisa?. Tentu saja beragam alasan bisa dikemukakan. Pemerintah kita mengeluarkan kebijakan untuk membatasi rakyatnya agar tetap di rumah (stay at home). Artinya, semua aktivitas rutin yang biasanya dilakukan di luar rumah, sekarang harus bekerja, belajar maupun beribadah semuanya dari rumah. (baca: di rumah aja).
Sejak menjadi pandemi global, pemberitaan Covid-19 kian gencar dilakukan media (baca : media cetak, elektronik audio maupun audio-visual, termasuk media cyber). Umumnya pemberitaan lebih diarahkan pada jumlah kumulatif warga yang terpapar dengan pola pemberitaan yang sama. Memberi informasi yang terkesan menakutkan publik. Maksudnya publik setiap hari disuguhi informasi “korban” Covid-19 Jumlah orang yang positif terpapar, jumlah yang dirawat dan sembuh bahkan jumlah korban meninggal dunia. Pola penyebaran isu yang turut diblowup Pers.
Ada kesan bahwa “pola” yang diperankan memiliki kesamaan ciri pada semua jenis media (cetak/elektronik/cyber) yang menyiarkan berita Covid-19. Tentu saja penyebaran informasi seperti ini menjadi “signal” bahwa Pers sesungguhnya turut bertanggung jawab terhadap “kepanikan publik” atas pemberitaannya.
Diakui bahwa memang agak sulit kita membayangkan ketika pembaca setiap saat “disuguhi” informasi mengenai korban suspect dibanding korban sembuh, termasuk informasi yang bersifat edukasi tentang Covid-19 agar “penikmat” informasi tidak larut dalam isu yang beredar setiap saat.
Itu sebabnya, seorang jurnalis, paling tidak harus peka, dan bersikap bijak dalam menyajikan informasi sebagai berita. Sebab informasi yang diangkat dalam pemberitaan ke publik harus dilengkapi data faktual. Artinya, keakuratan informasi, termasuk legalitas informasinya harus benar-benar dapat dipercaya dan bersifat edukatif.
Kendati demikian, kita dapat menyimak bahwa pemberitaan terkait Covid-19 menunjukkan adanya pro-kontra yang kemudian dihubungkan dengan sebuah konspirasi demi kepentingan ekonomi politik.
Tentu saja beragam pendapat dapat saja bermunculan dan itu sah-sah saja. Tak heran, muncul anggapan kalau Covid-19 adalah sebuah konspirasi global, tetapi ada pula pendapat dari perspektif kepentingan politik (political interest) termasuk kepentingan ekonomi politik. Sekali lagi, perbedaan pendapat itu sah-sah saja.
Konglomerat Media dan Pengaruhnya
Dalam konteks ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk menilai bagaimana sebuah media dapat menjalankan “otonomi dan tetap independent”. Ia tidak mudah diintervensi pemilik media, pemegang saham, pemasang iklan, termasuk sponsorship.
Menurut Altschull (1984), pernyataan yang menyebutkan bahwa, “Isi media berita selalu mencerminkan kepentingan mereka yang membiayai media tersebut” adalah jawaban yang cukup jelas dan juga konsisten dengan prinsip-prinsip teori pers bebas dalam versi paham ‘Pasar bebas’.
Namun demikian, tidak serta merta pihak komunikator yang dipekerjakan pemilik media kehilangan kebebasannya. Dalam hal ini, independensi dan otonomi komunikator massa tetap ada, khususnya kebebasan berdasarkan profesionalisme atau kebebasan untuk berkreativitas.
Dari perspektif ini sesungguhnya dapat memberi kesan bahwa Pers tetap harus menyajikan pemberitaan dalam berbagai perspektif namun harus diingat dalam konteks lain media harus tetap “hidup” dalam opersionalnya sebagai sebuah badan usaha. Sehingga antara kepentingan ekonomi dan aktivitas pemberitaan media haruslah berimbang demi menjaga independensi media termasuk pers itu sendiri di sisi lain. Kiranya tulisan ini memberi semacam otokritik terhadap pro-kontra Covid-19 dan eksistensi Pers.