Penulis : Dion Rasu (Aktivis GMNI Cab.Makassar)
Saya tak hadir dengan setumpuk teori. Bukan karena malas menghadirkan teori, tapi kadang berteori panjang membuat pembaca jadi malas baca.
Menulis ini pada saat ini saya mengakui akan kekurangan saya penting untuk selalu introspeksi diri. Cari tahu apa yang kurang dan apa yang salah dari diri sendiri karena tidak baik alih-alih menghakimi kesalahan dan kekurangan orang lain.
Membabi buta adalah langkah yang tidak beralasan alias tanpa perhitungan(KBBI).Tanpa pikir panjang menggunakan rasio akal atau pemikiran rasional dan isme adalah paham. Fenomena “membabi butaisme” ini sering muncul melalui praktik salah kaprah sebuah kebijakan, analisa persoalan, hingga ikut alur nimbrung sesuatu tanpa pertimbangan matang.
Istilah membabi butaisme memang baru, tetapi dikalangan ruang akademik sudah seringkali dipakai. Beberapa kawan pemerhati filsafat STF.DRIYAKRYA menggunakan istilah ini, Justru terkesan populer, Sayapun meminjam kata ini.
Dewasa ini kita gerah terhadap kelakuan para jagoan yang mengaku diri sebagai tokoh, ahli tafsir, intelek, pemikir, cendekia atau yang mengaku ahli. Anehnya, tak satupun persoalan terpecahkan. Waktu habis dalam durasi yang alot, kusir, miskin ide gagasan, dan berujung perdebatan yang menyinggung perasaan.
Lucu dan berengsek! namun mereka mengakuinya sebagai cara berdialektika ala mereka. Sesekali lawan bicara dikatakan dungu, tak kompeten, atau sesat pikir. Padahal persoalan entah itu sepele, rumit dan susah yang diulas itu, perlu metode tertentu. Bukan hanya metode, tetapi ketepatan porsi pengetahuan. Semisal; membicarakan ini itu pastilah ahli dalam hal itu pula.
Kemudian menjangkau persoalan yang diselesaikan mestinya melibatkan banyak indikator yang saling berhubungan agar jelas pada sasaran dan tidak berlarut-larut. Hasilnya banyak menimbulkan kegaduhan, cocoklogi serta merongrong-rong etika dan cara-cara sehat berpendapat.
Contoh lain yang parah adalah mencoba ikut nimbrung padahal tidak tau persoalan kemudian cenderung alergi kritikan. Bukannya menghasilkan gagasan berbobot tapi malah menyerang secara pribadi yang terkesan kekanak-kanakan. Sebagai orang yang paham dan masih awam hal ini sudah gawat, bisa dinilai bahwa ini merupakan tanda keterbelakangan intelektual.
Sejarah ilmu pengetahuan membuktikan ilmu tumbuh karena kritik. Filsafat yang terbilang ibu dari segala ilmu tumbuh besar karena kritik. Ketika sebuah sistem tak bisa dikritik maka matilah ilmu pastinya (TAN MALAKA: Menuju Republik Merdeka 100 persen).
Entah mungkin lupa atau bagaimana “membabi butaisme” ini dibiasakan, justru pemikiran ideal hadir dari metode dan analisa panjang bukan hanya asumsi, cocoklogi, atau sok tahu yang menjadi baku. Akibatnya, argumennya bisa dipatahkan.
Jika diposisikan pada bagian akademisi, menyoal kebijakan diperhitungkan dengan berbagai cara yang besar. Tak lekang oleh kait mengait referensi jurnal dan sejumlah buku sebagai bukti otentik temuan berbasis data yang tentu saja dilandasi metode akurat. Namun jika ditelusuri akar “membabi butaisme ” ini muncul dan diistilahkan, nampaknya persoalan salah tempat jadi wacana perdebatannya.
Salah tempat bisa diartikan ketika mengurusi sesuatu yang bukan urusannya atau mengomentari dan mendiskusikan sesuatu yang bukan wilayahnya. Kalaupun wilayahnya bisa jadi persoalan yang disoalkan dipaksakan pada mereka yang tak paham kapasitasnya sebagai penyumbang sejumlah gagasan.
Hal ini bisa terdekteksi ketika persoalan tak kunjung usai meski sepele dan mentok dalam wacana belaka. Dalam hal ini solusi diganti dengan celoteh, kritik lawan bicara dibungkam dengan menggunakan istilah lazim yang represif dan membuat nyali menciut. Apabila dihadapakan dengan orang yang terpelajar dan cukup ilmunya argumen para pembual seperti kelompok sempalan yang membabi buta ini bisa terpatahkan.
Selanjutnya itu bisa dikritik kembali secara metode tertentu. Alhasil mendidik dan seru! sekaligus memicu gagasan baru yang menghasilkan bobot brilian termasuk solusi.(***)