Sebuah Catatan dan Fakta di Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca

  • Whatsapp

Heri Rusmana

(Pustakawan DPK Sulsel)

Hari Kunjung Perpustakaan diperingati setiap tanggal 14 September dan dirangkaikan dengan kegiatan Bulan Gemar Membaca. Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca digaungkan dan pertama kali dirayakan pada tanggal 14 September 1995.

Penetapan perayaan itu berdasarkan surat Kepala Perpustakaan Nasional RI nomor 020/A1/VIII/1995 pada 11 Agustus 1995 kepada Presiden RI ke-2, Soeharto. Kemudian, surat tersebut mendapatkan respons dari Soeharto dan meresmikannya pada 14 September 1995.

Hari Kunjung perpustakaan seperti perayaan lainnya, kerap diadakan beragam kegiatan seperti pameran, lomba-lomba terkait pembudayaan gemar membaca dan berbagai event lainnya yang puncaknya dilaksanakan di Pepustakaan Nasional Ri. Namun, sehubungan Pandemi Covid-19, meskipun ada beberapa penyelenggaraan kegiatan, namun dilaksanakan terbatas penyelenggaraannya dan umumnya dilaksanakan secara daring.

Beberapa catatan dan fakta yang perlu mendapat perhatian pemerintah, insan perpustakaan, dan penggiat literasi informasi, serta pemangku kepentingan lainnya adalah sebagai berikut :

Pertama, Kelembagaan Perpustakaan.

Menurut data dari Perpustakaan Nasional RI, saat ini, jumlah perpustakaan di Indonesia sebanyak 164.610 unit. Hal ini menempatkan perpustakaan di Indonesia berada di posisi kedua perpustakaan terbanyak di dunia. Sementara urutan pertama ditempati India dengan 323.605 perpustakaan (Kompas.id/baca/utama/2019/4 Juli 2019.

Dari total perpustakaan yang dimiliki Indonesia, perpustakaan sekolah mengambil porsi terbesar, yakni 113.541 bangunan (IDN Times, 14 September 2019). Namun demikian banyak perpustakaan sekolah yang tidak layak. Bahkan, ada yang tercatat pada status rusak total.

Kemdiknas dalam publikasi Rangkuman Statistik Persekolahan melansir sebanyak 4.573 perpustakaan sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK dalam kondisi rusak berat pada tahun ajaran 2017/2018. Keadaan ini menyebabkan banyak siswa kurang mendapatkan akses untuk membaca buku melalui perpustakaan yang ada di sekolah mereka.

Kedua, Penerbitan Buku.

Menurut data yang dipublikasikan oleh London Book Fair 2019, Indonesia merupakan Negara yang paling aktif menerbitkan buku diantara Negara-negara anggota Asean. Setiap tahun setidaknya ada 30 ribu judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Sementara Malaysia diurutan kedua hanya menerbitkan 19 ribu judul (databoks.katadata.co.id).

Ketiga, Minat Baca.

Dari berbagai rujukan yang penulis himpun, meskipun penerbitan buku cukup tinggi dan jumlah perpustakaan di Indonesia makin banyak tetapi tidak berbanding lurus dengan minat baca masyarakat. Setidaknya hal itu tercermin dari data yang dipaparkan oleh berbagai lembaga perihal ketertarikan orang Indonesia untuk urusan membaca. Misalnya, Data Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam laporan berjudul World’s Most Literate Nations. Indonesia berada satu tingkat di bawah Thailand dan hanya unggul dari Bostwana.

UNESCO pada 2012 mencatat tingkat minat baca Indonesia hanya 0,001 persen atau hanya ada 1 orang yang rajin membaca dari 1000 orang. Kondisi ini semakin diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik yang mencatat pada 2015 hanya ada 13,11 persen penduduk yang membaca majalah atau koran. Sangat berkebalikan dari jumlah penonton televisi yang mencapai 91,47 persen di tahun yang sama.

Keempat, Pemustaka.

Dalam kondisi normal sebelum pandemic Covid-19 menerpa Indonesia, pengunjung perpustakaan didominasi oleh kelompok milenial dan generasi Z yang lahir di tahun 1995 sampai dengan 2010 dan mereka ketika berkunjung ke perpustakaan umumnya membawa laptop dan gadget. Mereka selalu terhubung dengan dunia maya dan sudah menjadi bagian gaya hidupnya.

Ketika pandemic Covid-19 menerpa dan adanya PSBB, hampir semua layanan perpustakaan tidak memberikan layanan kepada pemustaka, kalaupun buka hanya terbatas pada pengembalian buku yang dipinjam pemustaka. Bagi perpustakaan yang telah dilengkapi dengan koleksi digital tidak terlalu berpengaruh terhadap pemustaka, karena mereka bisa mengakses koleksi secara online. Sementara perpustakaan yang masih konvensional praktis tidak dapat melayani kepada pemustaka.

sementara itu di era kenormalan baru ini, masyarakat harus tetap kreatif dan produktif, meskipun masih berada di pandemi Covid-19 yang belum mereda. Literasi menjadi jawaban agar seseorang mampu membaca situasi dengan baik, mengeksplorasi pengetahuan lebih jauh, bisa mentransformasikan menjadi pengetahuan dan produk/jasa untuk meningkatkan kualitas hidup.

Mengutip pernyataan Kepala Perpustakaan Nasional RI , M. Syarif Bando, dalam salah satu media mengaku ada adaptif di era new normal ini, seperti perpustakaan beradaptasi menyesuaikan layanannya, melakukan inovasi layanan, membantu masyarakat untuk beradaptasi. Banyak perpustakaan tetap mengadakan kegiatan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat.
Ini kesempatan bagi perpustakaan berkontribusi kepada masyarakat di masa pandemi ini.

Pos terkait