Renny Puteri Harapan Rani, M.AP
[Pimpinan Media, Penulis Buku Citizen’s Charter sebagai Inovasi Terbaru Pelayanan Publik]
Sepertinya kondisi “kegamangan” secara nasional menjadi tak terelakkan lagi. Selama berbulan-bulan lamanya bergolak dengan pandemi covid-19 dan entah akan berakhir kapan, rakyat kini diperhadapkan pada tantangan baru yang tak kalah menguras energi yakni pengesahan Omnibus Law UU CIPTAKER.
Ya, sejak masih menjadi RUU pada februari lalu hingga ditetapkan pada senin 5/10/2020, Mosi Tidak Percaya terhadap lembaga tinggi negara DPR RI terus saja dilayangkan. Pasca pengesahan UU CIPTAKER yang menuai beragam reaksi yang secara terang-terangan ditunjukkan sejumlah pihak, berikut ragam komentar yang dominan berisi penolakan atas pengesahan UU kontroversial tersebut.
Bukan tanpa alasan, dari sekian point pembelaan yang dilontarkan oleh sejumlah petinggi di negara ini nyatanya tak jua mampu diterima oleh nalar publik yang menganggap bahwa UU tersebut tak layak diklaim “demi kebaikan rakyat”.
Bila dicermati, terdapat beberapa pasal yang disinyalir merugikan rakyat yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan, tentang Lingkungan Hidup, Pers, dan Pendidikan di RUU Cipta Kerja yang baru saja disahkan.
Harapan menjadi “pahlawan” dan memperjuangkan kepentingan orang banyak pupus sudah, sebab UU Cipta Kerja yang terdiri atas 15 bab dan 174 pasal yang di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi justru terasa semakin merugikan rakyat yang berujung semakin derasnya arus penolakan.
UU Cipta Kerja kini kadung disahkan oleh DPR melalui langkah senyap namun tak tepat. Kenyataan ini berhasil membekap nalar sehat publik yang tak habis pikir “bagaimana mungkin DPR RI meletakkan beban baru di tengah persoalan multi-kompleks yang sedang dihadapi rakyat dalam masa pandemi”
Sementara pada sisi lain, UU CIPTAKER diduga memberikan kemudahan dan “karpet merah” bagi tenaga kerja asing dan perusahaan besar, sedangkan rakyat khususnya kaum buruh justru diperhadapkan pada sejumlah regulasi dan tekanan baru di tengah peliknya kondisi perekonomian, sulitnya lapangan kerja, kebebasan berpendapat yang kian dibatasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah arus penolakan rakyat ini akan diindahkan oleh pemerintah? Apakah nalar dan nurani yang berteriak menyuarakan hak dan nasibnya masih akan didengarkan atau semua akan menjadi seperti yang sudah-sudah, yakni berakhir sebagai tirani di negeri ini?.