ARLISAKADEPOLICNEWS.COM—JAYAPURA. Perkumpulan Advokat/Pengacara Hak Asasi Manusia (PAHAM) Provinsi Papua, mendesak Komnas HAM RI agar membentuk KPP HAM untuk mengungkap dan memproses hukum terhadap para pelaku Pembunuhan di Papua terhadap sejumlah orang asli Papua seperti Pendeta Yeremia Zanambani (di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, pada 18 September 2020).
Pembunuhan Elias Kurunggu (40) dan Seru Kurunggu (2) di Kabupaten Nduga, pada 18 Juli 2020, Pembunuhan Melki Marek Maiseni (16), Armando Bebari (20) dan Roni Wandik (23) di Timika pada tanggal 10 dan 13 April 2020), Pembunuhan Hendrik Lokbere di Nduga, pada 20 Desember 2019, dan Gimin Narigi yang juga terbunuh di Nduga, pada 19 Desember 2018 lalu. Desakan tegas ini disampaikan PAHAM Papua melalui media rilisnya yang diterima media ini, Selasa, 06/10/2020.
Dalam media rilis yang ditandatangani advokat/pengacara HAM Papua Gustaf Kawer, SH, MSi dan Yohanis Mambrassar, SH itu menyebutkan bahwa desakan itu terkait dengan berbagai kasus kekerasan terhadap Rakyat Papua yang terus saja terjadi dan penanganannya terkesan biasa-biasa saja karena menggunakan metode yang dinilai telah usang yang tak pernah berhasil dalam mengungkapkan kebenaran dalam menyelesaikannya hingga tuntas dan adil.
Untuk itu, Gustaf Kawer, SH, MSi yang adalah Direktur PAHAM Papua, dalam media rilis tersebut menyataka bahwa cara menyelesaikan berbagai kasus ini menunjukkan sikap pemerintah memandang bahwa kasus HAM dianggap tidak serius, karena dari cara pendekatannya tergambar secara jelas sikap pemerintah yang memandang kasus-kasus pembunuhan warga Papua akibat konflik bersenjata dan bermotif politik sebagai kasus yang tidak serius.
“Padahal kasus-kasus itu telah merenggut korban nyawa manusia dan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang seharusnya ditangani secara serius. Itulah gambaran komitmen Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan di Bumi Cenderawasih”, tegasnya.
Kendati demikian, Menko Polhukam Mahfud MD pada beberapa hari lalu telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) untuk melakukan investigasi dan mengungkapkan kebenaran pelaku pembunuhan empat warga sipil termasuk Pendeta Yeremia Zanambani.
Tim bentukan Menko Polhukam ini beranggotakan 30 orang yang terdiri dari sejumlah orang yang mewakili Pemerintah dengan latarbelakang TNI/ Polri, Akademisi, Gereja, dan tokoh masyarakat pilihan pemerintah. Selanjutnya tim ini ditugaskan untuk bekerja selama dua bulan. Walau demikian, Direktur PAHAM Papua, Gustaf Kawer, SH, MSi melihat bahwa pembentukan TGPF ini tidak menunjukan niat serius dalam menyelesaikan secara transparan, benar dan adil.
Menurutnya, pembentukan TGPF ini dilakukan di luar dari mekanisme resmi yang dimandatkan oleh UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya pasal 18 dan 19 yang mengamanatkan bahwa untuk mengungkapkan suatu peristiwa yang dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM, maka negara memandatkan kewenangan penyelidikan (investigasi) oleh Komisi HAM Asasi Manusia (KOMNAS-HAM).
Karenanya, ia menilai bahwa kehadiran TGPF ini sebagai sinyal kuat sikap tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tersebut karena proses pembentukannya tidak transparan dan tidak melibatkan perwakilan keluarga korban, dan para pegiat HAM yang independent bahkan tim bentukan Menko polhukan ini, dinilai tidak memiliki track record kerja dalam mengungkapkan kasus-kasus HAM selama ini.
Oleh sebab itu, Menurut Gustaf dalam kasus seperti ini, seharusnya pemerintah mendorong Komnas HAM membentuk Tim Ad-Hoc lalu Tim Ad Hoc ini yang kemudian akan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) yang lazim dilakukan pemerintah dalam mengungkapkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia seperti kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur, Kaus Tanjung Priok, Kasus Abepura 2000, Kasus Wasior 2001, Kasus Wamena 2003, dan Kasus Paniai 2014 yang sampai hari ini tidak ada keberpihakan bagi para korban maupun keluarganya karena proses hukumnya masih berputar-putar di Kejaksaan Agung RI dan Komnas HAM RI.
Upaya pemerintah untuk mengungkap kebenaran, kata Advokat dan Pengacara di Papua ini bahwa seharusnya tidak hanya dilakukan untuk pengungkapan kebenaran pada kasus pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani tetapi juga pengungkapan kebenaran harus dilakukan untuk semua kasus kekerasan warga sipil di Papua.
Menurutnya, kasus pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani bukanlah kasus yang terpisah dari kasus kekerasan warga sipil lainnya, namun merupakan bagian dari rentetan kekerasan terhadap warga sipil yang terjadi akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPN/OPM di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga, dan di Timika, Kabupaten Mimika sejak 2018 hingga 2020 yang berakibat tidak sedikit nyawa melayang dan ribuan orang mengungsi karena takut menjadi korban akibat konflik tersebut.
Oleh sebab itu, PAHAM Papua berpendapat bahwa Pembentukan TGPF merupakan tindakan non prosedural dan kehadirannya dianggap bukan merupakan tim penyelidikan yang mempunyai wewenang sebagai mana diatur dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 18 dan 19. Disamping itu, PAHAM Papua juga menilai kalau pembentukan TGPF hanya sebagai upaya pemerintah dalam mengakomodir tuntutan publik atas pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani. (***)