Puisi : Sepilin Puisi Tino Watowuan

  • Whatsapp

Persetubuhan

Puting-puting diksi menetes
diisap mulut busa merembes
serupa buih tuak dalam seloki
bila diteguk mabuk berderai

melumat lidah di atas meja
dari balik selangkangan kuasa
muncrat lendir kenikmatan semu
tak pernah lahir rasa malu

dalam bilik nafsu dan konspirasi
merenggut hati dan nasip jelata
hamilkan perih luka rahim pertiwi
buah persetubuhan penuh dosa

Kb, 2020

Panggung Sandiwara

Entah kenapa menyebut sebut
punggung dunia panggung sandiwara
tak jarang sesuka hati seenak perut
gonta-ganti wajah tukar-menukar derama

Sungguh ngerih genit menggamit
ruang gelap pengap kuasa
penonton menonton terjepit sempit
pemeran memeran liur kompromi busa

Bagai raga tak bernyawa
memutus putusan tanpa permisi
merasa benar tiada cela
sedang nyatanya gagap regulasi

Ramai tebar menebar tanya
banyak bicara dibaca dengki iri
usul dibuang tiada percaya
kunya kata semata pembenaran diri

Memang panggung bersandiwara
di balik batu udang-udang tertawa
ada udang kepalanya batu membaja
susah melahap undang-undang mengeja

Dicumbui berupa kritikan
maunya ditiduri dengan pujian
dibelai mesra berupa teguran
minta disenggol dengan paksaan

Itulah naskah sandiwara
mengoce perut gelitik tawa
baru-baru buru-buru dipentaskan
drama warna kekanak-kanakan

Bila belum percaya datanglah kemari
naskah tersusun rapi dalam lemari
ada yang tampak ramah-ramah
di balik lemari ada remah-remah

Setelah membaca puisi ini
usah baper seperti banci
ia dilahirkan oleh rahim nurani
polos tiada unsur ambisi benci

Sebagaimana puisi peras imajinasi
demokrasi itu dilahirkan setengah mati
bukan halusinasi tanpa realisasi
jangan mengotori beningnya hati

Begitulah kura-kura
upss.. Salah..!, begitulah kira-kira
lupa, bukan bermaksud pura-pura
namanya panggung sandiwara rupa-rupa

Kb, 2020

Topeng

Bola mata mereka jadi cermin
kau rias wajah kelihatan mulus
bak lumat sepotong lipstik dan bedak
biar tak ada lalat yang lalulalang

Setiap huruf tumpah
dari dalam mulut yang sumur itu
telah mengalir ke seluruh telinga
orang-orang masih sangat hafal
desir rintiknya yang jatuh

Sebagaimana banjir menyeret
guyur bangkai hewan tiap penjuru
menggenangi halaman rumah
menyumbat saluran pernapasan

Barangkali hidup bagimu hanya
untuk melunasi utang keinginan
keinginan yang tak pernah tuntas
berlumur lumpur hitam nan pekat

Kau masih melukis sibuk
memoles senyum agar tiada curiga
tanpa sadar bercermin di air keruh
sekali waktu akan menjelma Bah

Tabur-tuai bakal tiba menagih
ketika mendongakan kepala
telah hanyut bersama seisi rumah
tak ada Nuh dan Bahtera menggotong

Hidup hanyalah jembatan tuk berarti
barangkali kau telah mati dalam hidup

Kb, 2020

Tentang Penulis :
Tino Watowuan, Lahir dan tinggal di Adonara, Flores Timur, NTT. Beberapa karya sastranya berupa prosa dan puisi pernah terbit di beberapa media online dan media cetak. Penulis buku antologi puisi sajak terakhir (Laditri Karya, 2020) bersama Komunitas Pejuang Literasi Penyair Indonesia (PLPI).

Pos terkait