Penulis : Willem Pattiwaellapia.S.H.CLA-ALC
(Advokat)
(21 Juli 2021)
Berpengadilan itu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat hukum di Indonesia. Ungkapan ini menjadi refleksi hidup dari salah satu asas hukum yang berkaitan erat dengan interaksi sosial masyarakat.
Asas hukum yang dimaksud adalah “Ubi societas ibi ius“, yang artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Makna singkatnya mengandung arti seperti itu.
Interaksi kehidupan sosial masyarakat berpotensi untuk menimbulkan problem hukum yang disebut terjadi konflik kepentingan dalam arti yang luas, apalagi kalau masyarakatnya pluralis.
Ketika konflik hukum muncul dan mengalami kebuntuan penyelesaiannya secara kekeluargaan, maka dalam banyak hal berperkara di pengadilan menjadi jalan terakhir untuk mencari keadilan sebagai ungkapan hati dari si pencari keadilan.
Pada dasarnya ketika kita berbicara tentang sidang pengadilan, maka akan menjadi korelasi yang senyawa atau berkohesi dengan putusan hakim.
Berbicara putusan hakim, selalu masyarakat hukum memahaminya mengenai keadaan atau situasi bersidang di pengadilan yang pada intinya sebagai proses mencari keadilan yang adalah tingkatan tertinggi dari tujuan hukum, selain tujuan kepastian dan kemanfaatan (Utilitas) hukum.
Dalam tingkatan strata sumber-sumber hukum di Indonesia dan lazimnya berlaku secara universal, maka sumber hukum formil yang kita ketahui terdiri dari Undang-Undang (Statute Law), hukum kebiasaan (Coustum Law), keputusan hakim (Jurisprudence), perjanjian-perjanjian internasional antar negara (traktat) dan pendapat ahli hukum (doktrin).
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang dipakai dalam penyelesaian kasus-kasus hukum di pengadilan. Di mana lahirnya yurisprudensi itu didasari pada putusan hakim yang menyelesaikan perkara atau sengketa hukum di pengadilan.
Praktisnya orang hukum memahami yurisprudensi itu lahir dari adanya putusan hakim yang telah memeriksa dan menilai perkara atau kasus hukum.
Tetapi menjadi pertanyaan yang mendasar dan hakiki sifatnya adalah apakah semua putusan hakim diartikan sebagai “YURISPRUDENSI”?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka yang diharapkan adalah kita harus tahu dan memahami secara tepat dan benar tentang putusan hakim di satu sisi dan di sisi lain yurisprudensi dalam terminologinya sesuai kritera yang tepat.
Sedikit merefleksi kita tentang sejarah perkembangan pemberlakuan yurispudensi di Indonesia sebagai negara hukum adalah misalnya di tahun 1972 dibuat Surat Edaran (Instruksi) dari Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1972 Tentang Pengumpulan Yurisprudensi, baik dalam lingkup hukum perdata (BW terdiri dari hukum dagang, adat dan lain-lain) dan hukum pidana yang bersifat hukum matriil maupun formiil.
Tujuannya adalah merupakan “Richt Lijn” atau semacam pedoman untuk harus diikuti oleh hakim yang mengadili perkara yang sama atau serupa, namun wajib telah diteguhkan hukumnya di tingkat kasasi.
Artinya, mengandung makna hukum bahwa yurisprudensi mempunyai sifat richt lijn hanya pada perkara di tingkat kasasi sebagai perkara inkracht van gewisdje zaak (berkekuatan hukum pasti/ tetap), bukan pada perkara yang telah mempunyai kekuatan pasti tanpa melalui proses kasasi.
Hal itu menegaskan kepada kita bahwa ada banyak perkara yang telah inkracht/berkekuatan hukum tetap baik pada pengadilan tingkat pertama atau banding, namun tidak memiliki “Richt Lijn” untuk dijadikan sebagai yurisprudensi.
Itulah konsepsi yuridis Mahkamah Agung RI dari segi otoritas lembaga/institusinya mengenai kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsi kewenangan baik secara yudisial maupun administrasi tentang kriteria yurisprudensi dan pemberlakuannya.
Konsepsi hukum lainnya sehubungan dengan terminologi yurisprudensi menurut pandangan ahli hukum (doktrin) juga memiliki makna tersendiri.
Ada banyak sekali literatur yang mengatur mengenai terminologi/pengertian yurisprudensi, namun kita memfokuskan pada beberapa doktrin saja yang memiliki kesamaan arti yang sifatnya hakiki.
Kansil, memberi pengertian yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim yang lain (hakim kemudian) mengenai masalah yang sama.
Prof. Subekti, memberi pengertian yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Prof Mulady, memberi pengertian yuriprudensi yaitu ajaran hukum khusus yang terbentuk dari putusan-putusan pengadilan khususnya Mahkamah Agung (The scince of law the forma principles upon which are law are based) dan dipakai sebagai rujukan oleh hakim untuk memutuskan perkara yang sama/serupa (A body of a court decision as a judicial precedent considere by the judge in it’s).
Penulis mengambil ketiga pandangan ahli hukum tersebut diatas sebagai tata penilaian secara representatif, oleh karena sangat korelatif dengan Surat Edaran/Instruksi Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1972 Tentang Pengumpulan Yurisprudensi.
Bila kita menyimak secara saksama mengenai yurisprudensi dari segi terminologinya, maka tentunya ada gambaran hukum yang komprehensif tentang eksistensi dari yurisprudensi itu sendiri.
Yurisprudensi harus memenuhi syarat wajib putusannya terproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung RI, kasus hukumnya adalah sama atau serupa dan memiliki nilai yuridis yang konsisten dan bersifat kontinyu (dipakai terus menerus) bagi hakim lainnya sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara hukum.
Gambaran hukum di atas tegas menunjukan kepada kita bahwa tidak semua putusan hakim dapat dipergunakan oleh para penegak hukum sebagai yurisprudensi. Apalagi kalau dikaji secara substansi hukumnya dari sifat hakiki putusan, yang berhubungan dengan pengaruh keilmuan hukum karena perkembangan zaman, maka kekuatan yurisprudensi sebagai sumber hukum masih dapat dipatahkan pemberlakuannya.
Artinya, bahwa putusan hakim dalam kategori “Yurisprudensi” dijadikan sebagai sumber hukum, masih memerlukan kajian-kajian keilmuan hukum yang metodologis untuk bisa dijadikan klasifikasi yang tepat sebagai sumber hukum guna dapat dipergunakan sebagai pedoman penyelesaian sengketa hukum.
Kita dapat mengambil contoh kasus hukum perkara perdata (masih banyak contoh lain) sebagai perbadingan terjadi kontradiksi putusan hakim ditingkat kasasi yang dapat membuat kekonsistenan pemberlakuan yurisprudensi menjadi patah daya berlakunya.
Misalnya putusan hakim Mahkamah Agung RI No.937 K/Sip/1970, Kaidah hukumnya berbunyi: “Jual beli tanah dengan menggunakan Akte Jual Beli yang dilaksanakan di hadapan Pejabat Akta Tanah/PPAT sesuai PP No. 10 Tahun 1961, dianggap sah perbuatan hukum jual beli dan dipandang sebagai bukti surat yang sempurna”.
Jika dibandingkan dengan putusan hakim Mahkamah Agung RI No. 952 K/Sip/1974, tanggal 27 Mei 1975, kaidah hukumnya berbunyi: “Jual beli sah apabila memenuhi syarat secara riil dan kontan dilakukan penyerahan dan diketahui oleh kepala kampung”. Inilah yang disebut jual beli menurut hukum adat.
Mencermati kedua jenis putusan hakim agung tersebut, maka secara hukum tata cara penilaiannya secara kasuistis tentu problem hukumnya berbeda. Apakah kedua putusan hakim agung tersebut dapat dikategori sebagai yurisprudensi, sementara tidak memiliki nilai kekonsistenan hukum satu sama lainnya.
Padahal di sisi lain hadirnya putusan hakim agung menjadi sumber hukum yurisprudensi harus mempunyai nilai kesamaan (serupa) kasuistisnya dan memilik kekuatan daya berlaku yang kontinyu (terus-menerus) untuk dapat dipertahankan keberadaannya.
Penulisan opini hukum ini hanya mau mengajak kita untuk mendudukan makna dan terminologi hakiki dari yurisprudensi sebagai sumber hukum di satu sisi dan di sisi lain bagaimana peranan Mahkamah Agung RI untuk dapat melakukan pengumpulan putusan-putusan Hakim Agung di tingkat kasasi secara tepat untuk dapat melahirkan yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam penggunaannya dengan benar bagi setiap aparat penegak hukum, khususnya bagi para advokat sebagai pendekar hukum di pengadilan.
Kita tidak menafikan bahwa teori klasik yang sampai hari ini masih berlaku berupa pendekatan (aproach) pengaruh daya pikir manusia (Personality), wilayah (teritorial) dan perkembangan zaman sebagai faktor yang mempengaruhi kemajuan ilmu hukum sangat berdampak pada putusan hakim dalam penyelesaian sengketa atau perkara hukum.
Mahkamah Agung harus lebih optimal lagi dalam membuat seleksi yang tepat/benar dan cepat untuk melahirkan yurisprudensi sebagai sumber hukum sesuai terminologi dan makna hakikinya.
Jika tidak demikian adanya, maka berpotensi untuk terjadi kesembrautan penggunaan putusan hakim yang keliru dan tidak tepat telah dianggap menjadikannya sebagai yurisprudensi (sumber hukum), sementara di sisi lain kita masih mengalami ketertinggalan dalam sistem hukum yang law in statute (hukum yang ditemukan dalam UU).
Putusan hakim yang ditelorkan harus memenuhi syarat hakiki dari arti yang sebenarnya untuk menjadikan dirinya (yurisprudensi) sebagai sumber hukum yang pasti, terlepas dari sebuah prinsip dalam hukum acara bahwa hakim tidak terikat pada suatu yurisprudensi, karena memiliki sikap prinsip otonom atau independensi sesuai perintah Undang-Undang dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.