ARLISAKADEPOLICNEWS.COM-MAKASSAR. Tidak banyak kisah pernikahan yang punya muatan romantis, spiritual, dan berujung dramatis. Apalagi, prosesi sebelum ijab kabul antara lelaki dan perempuan, yang dipertemukan melalui taaruf terbilang unik. Ada proposal pernikahan dan mahar yang berupa pedang dan kain kafan. Sehingga, sangat layak kisah dengan muatan seperti itu dibukukan.
Itulah alasan Rahman Rumaday, founder Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), menulis buku kisah pernikahannya dengan Heliati Eka Susilowati, akrab disapa Esti. Bukunya sudah terbit, berjudul “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, disunting oleh Rusdin Tompo.
Minggu, 28 November 2021, buku tersebut diluncurkan dan didiskusikan di Kopi Batas Kota, Makassar. Hadir sebagai pembicara, sastrawan Yudhistira Sukatanya, penyair Muhammad Amir Jaya, politisi, Susy Smita Pattisahusiwa, mantan Duta Baca Sulawesi Selatan, Rezky Amalia Safiin, dan penulis/editor, Rusdin Tompo.
Sebelum diskusi, Rahman Rumaday membuka selubung kain putih sebagai tanda peluncuran bukunya. Begitu terbuka, tampak cover buku yang sudah dibingkai, kitab Riyadhussholihin, dan pedang terbuat dari besi putih sepanjang 99 cm yang menyimbolkan Asmaulhusna.
“Pedang ini bertuliskan nama saya dan Esti. Masih pedang aslinya. Sedangkan kain kafan, sudah ikut bersama almarhumah ketika dimakamkan,” ujar lelaki yang biasa dipanggil Bang Maman itu mengenang almarhumah istrinya.
Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, tadinya merupakan buku yang lebih dahulu akan ditulis. Tapi rupanya, buku tentang kisah pernikahannya itu menjadi buku ketiga. Sebelumnya, Maman menerbitkan buku “Perpustakaan Lorong Kelurahan Parangtambung” dan “Green Tea dan Bunga”, tahun 2020.
Sebagai editor, Rusdin Tompo mengaku naskah dari penulis memang sudah mengalir bagus. Jadi memudahkan dia melakukan proses pengeditan.
Rezky Amalia Syafiin, yang cukup mengenal Maman dan Esti, mengakui kedua pasangan ini memang sudah satu frekuensi. Karena itu juga yang selalu dinasihatkan Maman. Supaya dia mencari pasangan yang satu frekuensi agar bisa memahami aktivitas yang digeluti.
Susy Smita Pattisahusiwa menilai impian dan cita-cita Esti terwujud ketika menikah dengan Maman. Simbol pedang dan kain kafan itu memang merupakan visi hidupnya. Itu semua sudah digariskan oleh Allah SWT, dari kisah mereka kita bisa belajar.
Pernikahan, lanjut Susy, merupakan ibadah terlama. Bahkan, dengan menikah akan menyempurnakan setengah dari perjalanan agama. Karena itu, tidak ada alasan untuk tetap sendiri. Sehingga, kesenderian itu harus segera diakhiri.
“Orang yang pernah luka parah akan menulis sangat baik,” Yudhistira Sukatanya memulai bahasannya.
Menurut sutradara teater itu, kalau buku ini diubah sedikit, akan jadi novel karena sudah naratif. Andai jadi novel, maka plotnya dibuat oleh Allah SWT.
“Adakah yang lebih hebat dari skenario ciptaan Tuhan?” tanyanya.
Buku ini, lanjutnya, mendebarkan. Seperti membuka pintu, selalu ada yang tidak tertebak. Romantis dan sangat menyedihkan. Ini roman biografi yang nyaris seperti fiksi.
Dia menganggap Maman beruntung berada di antara orang-orang yang mrncintainya. Itu karena Maman juga selalu berbagi cinta dan peduli pada orang lain. Katanya, berbahagialah berada di antara orang yang mencintai kita.
Amir Jaya menilai buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” merupakan sumber inspirasi dan sumber ilmu. Terutama bagi mereka yang belum mengenal kehidupan berumah tangga.
Karena, pada bagian proposal dalam buku itu tergambarkan, apa yang jadi motivasi dan niat penulisnya untuk menikah. Pesan spiritualnya ada pada niat, yakni mencari keridaan Allah SWT. Ini luar biasa kalau kita bisa implementasikan.
“Disadari atau tudak, Maman itu mengajak kita sebagai pembaca untuk berzikir. Karena selalu ada kalimat toyyibah dan kalimat tauhid sebagai pembuka ceritanya,” paparnya.
Dalam diskusi buku ini, ada pula pembacaan puisi oleh Rosita Desriani, berjudul “Guna Apa Cinta” karya Rusdin Tompo. Juga puisi “Bawa Aku Kembali” karya Maman yang dibacakan Harfia. (***)