Oleh: Syamsul, S.I.Kom
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Makassar)
Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No 11 Tahun 2020, Tentang Cipta Kerja. Undang-Undang ini disusun dengan teknik Omnibus Law.
Menurut pemerintah, pengesahan ini akan mampu meningkatkan investasi, membuka lapangan pekerjaan lebih luas, serta meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan memangkas rumitnya perizinan yang selama ini dianggap sebagai salah satu penghambat laju investasi.
Pemerintah terus mengupayakan yang terbaik bagi masyarakat, sebagaimana yang telah diamanatkan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka merwujudkan masyarakat yang adil, makmur yang berasaskan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
Omnibus law yang dibuat oleh Pemerintah, bertujuan menyasar tiga (3) Undang-undang (UU) besar, yakni UU Cipta Kerja, UU Pemberdayaan UMKM, dan UU Perpajakan.
Sebelum Undang-undang ini dibuat, ada Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun karena perkembangan, maka UU Cipta Kerja ini telah mengubah beberapa UU sebelumnya, salah satunya adalah UU Ketenagakerjaan.
Namun Undang-Undang Cipta Kerja ini tidaklah mengubah keseluruhan isi Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu. Ia masih dinyatakan tetap berlaku asalakan tidak ada bertentangan di dalamnya.
Ada beberapa perubahan signifikan dalam norma ketenagakerjaan, di antaranya aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga sanksi administratif dan pidana.
Tujuan UU Cipta Kerja
Alasan pemerintah membuat Omnibus Law dalam hal ini UU No 11 Tahun 2020, lantaran banyaknya regulasi yang dibuat, yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan tersendiri, seperti tumpah tindihnya regulasi.
Akibatnya, tak sedikit menimbulkan konflik kebijakan atau kewenangan antara lembaga dengan lembaga lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Regulasi yang tumpang tindih ini akhirnya berdampak pada terhambatnya implementasi program pembangunan, serta memburuknya iklim investasi di Indonesia, sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit untuk tercapai.
Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem masyarakat digital pun semakin berkembang, dimana Indonesia sudah tidak bisa lagi berlama-lama terbelit dengan prosedur formal. Berdasarkan hal ini, maka jalan satu-satunya adalah menyederhanakan sekaligus menyeragamkan regulasi dengan cepat melalui skema yang disebut Omnibus Law itu.
Undang-undang ini mulai diberlakukan pada 02 November 2020. Dengan tujuan mengatur mengenai upaya cipta kerja yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif, serta tuntutan globalisasi ekonomi.
Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat serta percepatan proyek strategis nasional.
setidaknya ada sepuluh ruang lingkup sasaran UU ini, yaitu (1) Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, (2) Ketenagakerjaan, (3) Kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, (4) Kemudahan berusaha (5) Dukungan riset dan inovasi, (6) Pengadaan tanah, (7) Kawasan ekonomi, (8) Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional, (9) Pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan (10) Pengenaan sanksi.
Pengertian Omnibus Law
Pengertian Omnibus law sendiri adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.
Konsep Omnibus Law dalam undang-undang bertujuan menyasar isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi atau persengketaan dan bahkan kontradiktif antara norma yang satu dengan norma yang lainnya.
Apabila dilihat dari kedudukannya, Omnibus Law sebagai sebuah undang-undang berkedudukan di bawah undang-undang dasar, namun lebih tinggi dari jenis peraturan perundang-undangan lainnya.
Masalah Ketenagakerjaan
Secara umum, terdapat beberapa masalah krusial dalam Bab Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.
Pertama, hilangnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Kedua, dihapuskannya frasa “kebutuhan hidup layak” sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas.
Ketiga, dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing).
Keempat, pergeseran paradigma pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi lebih mudah karena dibuka kemungkinan PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha ke pekerja tanpa didahului dengan perundingan.
Kelima, RUU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja, karena banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja.
Secara sosiologis-empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.
lanjut, Keenam, UU Cipta Kerja tidak ramah dengan penyandang disabilitas yang berposisi sebagai pekerja. UU ini memberikan ketidak-adilan bagi pekerja yang menjadi penyandang disabilitas karena kecelakaan kerja yang kemudian dengan mudah di-PHK. Pengaturan ini kontraproduktif dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dengan demikian, RUU Cipta Kerja juga tidak menyelesaikan masalah-masalah krusial yang memang ada dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti ketiadaan pekerja informal misalnya pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, atau pekerja yang berada dalam hubungan kerja tidak standar, dan banyak lagi catatan kekurangan lainnya.
Revisi parsial yang dilakukan dalam RUU Cipta Kerja terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan justru menimbulkan masalah-masalah baru yang berdampak buruk bagi perlindungan pekerja.
Kesimpulannya, RUU Cipta Kerja tidak menunjukkan peran serta kehadiran negara, sehingga dianggap telah melenceng dari konsepsi hubungan industrial Pancasila (***)