SKPKC Fransiskan Jayapura Luncurkan Buku “Tuntut Martabat Orang Papua Dihukum”

  • Whatsapp

ARLISAKADEPOLICNEWS.COM—JAYAPURA. Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, meluncurkan dan mendiskusikan sebuah buku seri Memoria Passionis Edisi 38 dengan judul Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum, Potret Politik Rasialisme di Tanah Papua 2019, Kamis, 02/07/2020 di Sentani Kabupaten Jayapura.

Buku tersebut ditulis oleh Theo Van Den Broek yang mengisahkan tentang prahara rasialisme yang bertubi-tubi mendera dan mengoyak harmoni kemanusiaan dan martabat orang-orang Papua yang sejatinya, martabat itu telah mendapat ruang terhormat dalam bangsa ini. Sayangnya, peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang yang menghina mahasiswa Papua itu, tampaknya telah melukai hati orang Papua dan semakin memupus asa untuk menyatu dengan Bangsa Indonesia. Demikian ulasan singkat mengenai isi buku tersebut.

Muat Lebih

banner 728x90

Peluncuran dan diskusi buku tersebut berlangsung kurang lebih tiga jam menghadirkan pembicara utama, Theo Van Den Broke sebagai penulis buku, Victor Mambor seorang jurnalis senior, Praktisi Hukum Gustaf Kawer, SH, MH dan Dr. Beatus Tambaib MA mewakili akademisi yang dimoderatori Ruth Ohoiwutun.

Dalam kesempatan itu, Van Den Broek memaparkan sejumlah alasan utama yang menjadi dasar dirinya menulis buku tersebut.

Pertama, ia melihat peristiwa ini cukup berat dan sangat melukai perasaan yang berawal dari tindakan rasisme dan penghinaan terhadap mahasiswa Papua pada 15 Agustus 2019 lalu di Surabaya dan Malang. Sehingga dari peristiwa itu memunculkan berbagai reaksi yang kemudian dicatatnya sebagai goresan informasi yang disiapkan sebagai catatan yang dapat disampaikan kepada berbagai pihak yang menanyakan informasi kepadanya mengenai keadaan yang sedang terjadi di Papua.

Kedua, adalah informasi yang dicatatkannya ternyata cukup memadai karena dijadikan sebagai kumpulan catatan mengenai berbagai peristiwa yang terjadi dan dibuatkan menjadi semacam laporan dan kemudian oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua membukukannya menjadi catatan Memoria Passionis seri ke 38 dalam sebuah buku yang bertajuk : “Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum”.

Dalam pemaparannya, Theo Van Den Broek mengatakan bahwa ia menulis buku ini karena keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di Papua. Menurutnya ia mengumpulkan data dan informasi berdasarkan apa yang terjadi dengan memanfaatkan informasi dari berbagai media massa di Jayapura.

“Buku ini ditulis berdasarkan informasi yang dilengkapi dari berbagai media yang ada di Jayapura”, tuturnya.

Ia juga menjelaskan secara umum buku ini sangat sederhana karena mengisahkan tiga hal menonjol dan berdampak jangka panjang, yaitu pertama, pergeseran dari masalah rasisme ke masalah keamanan. Kedua, Hilangnya kepastian hukum dan Ketiga Pergeseran Pemerintahan sipil ke pihak keamanan.

Menurut Van Den Broek pada bagian-bagian tertenu dari bukunya, ia mengisahkan masalah penting di Indonesia yakni adanya sikap diskriminasi dan rasis yang sebenarnya tidak direspons secara memadai. Telah terjadi pembiaran yang berakibat serius pada prinsip Bhineka Tunggal Ika. Ia juga melihat bahwa konflik horisontal sangat muda terjadi di Papua. Persoalan diskriminasi dan rasisme yang dibiarkan terjadia terhadap orang-orang Papua telah menyuburkan benih-benih konflik horizontal di masa yang akan datang.

Menurutnya, pendekatan terhadap masalah di Papua selalu menggunakan pendekatan pengamanan atau militerisme, makanya Papua dibanjiri pasukan Polisi dan Tentara sampai menjadi wilayah yang secara de facto telah menjadi daerah operasi militer. Walaupun keadaan sudah dinilai kondusif pasukan keamanan tidak ditarik dari Papua. Keadaan ini, kata dia, tidak menyelesaikan permasalahan di Tanah Papua. Sebaliknya justru akan memperkuat lingkaran kekerasan yang tetap dominan dalam kehidupan orang-orang asli Papua.

Disebutkan bahwa insiden-insiden yang menyulut pergolakan di Tanah Papua menjadi momentum bagi instansi-instansi keamanan untuk menyelenggarakan suatu operasi keamanan, yaitu melakukan penambahan jumlah pasukan Kepolisian (Brimob) dan Tentara untuk mengakhiri segala bentuk gerakan perlawanan politik di Tanah Papua, khususnya kelompok bersenjata (Tentara Pembebasan Nasional –Papua Barat), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dan Komite Nasional Papua Barat yang menjadi sasaran utama.

Disamping itu, banyak orang asli Papua ditangkap berhubungan dengan pelbagai insiden, namun penangkapannya sering kurang jelas alasannya, apalagi buktinya. Alasan penangkapan karena person yang bersangkutan terlibat dan menjadi pendukung ULMWP atau KNPB yang menonjol juga bahwa mereka, kata Theo bahwa kemudian diproses hukum dan dijadikan tersangka dengan tuduhan makar.

Menurutnya, kenyataan penangkapan seperti itu memiliki dampak besar hingga proses persidangan di pengadilan. Persidangan menjadi sangat rumit dan ada intervensi kuat dari negara (TNI-Polri) karena para tersangka ditangkap secara paksa dan penetapan tersangka dilakukan secara sewenang-wenang. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap negara semakin berkurang.

Diakhir pemaparannya Bruder Theo menyatakan keprihatinannya atas gesekan antar kelompok yang memicu konflik dan kekerasan bernuansa suku dan agama yang merusak harmoni sosial masyarakat. ia juga merasa prihatin atas adanya kekuatan yang dominan dalam menangani persoalan konflik rasisme dari pihak aparat keamanan—sesekali dibantu kelompok radikal—yang menyingkirkan kekuatan masyarakat sipil, pemerintah sipil baik di Papua maupun di Jakarta. Kemudian, masyarakat sulit memahami persoalan dan peristiwa yang terjadi sebenarnya karena segala lalu lintas komunikasi dan pemberitaan dikuasai oleh pihak keamanan, sekaligus pemblokiran internet di Papua dan pengaktifan 10 website yang menyebarkan pemberitaan mengenai Papua yang tidak lengkap dan sering menyesatkan dan ironisnya website-website itu dibiayai oleh institusi negara.

Ia juga melihat bahwa tidak ada investigasi yang teliti mengenai setiap kejadian di Papua, sebaliknya muncul upaya kriminalisasi dan penangkapan sewenang-wenang terhadap orang Papua. selanjutnya, kata dia, tidak ada satu proses persidangan pun yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum karena dasar pengaduan ternyata tidak kuat atau aduan itu justru palsu.

Dari pemaparannya The berkesimpulan bahwa akar segala macam perkembangan yang sangat negatif dan memprihatinkan yang justru cenderung merusak negara adalah sikap tidak mengakui martabat setiap manusia.

“Kalau kita mengakui sesama kita sebagai teman hidup yang sama harganya dan sama martabatnya maka segala insiden yang menjadi sarana perusakan dapat dihindari”, tegasnya.

Ia mengatakan hanya berdasarkan pengakuan martabat setiap manusia kita akan mencari jalan penyelesaian berbagai persoalan tanpa lari pada penggunaan kekuasaan yang disertai kekerasan. Ia mengakhiri pemaparannya dengan mengutip pernyataan wakil presiden Jusuf Kalla “ Kita perlu suatu pendekatan sosial untuk menyelesaikan masalah di Papua.

Sebagai info, penulis buku Theo Van Den Broek adalah seorang misionaris asal Belanda dari ordo Fransikan yang telah memulai pelayanannya di Papua sejak tahun 1975. Ia dilahirkan di Belanda, pada tahun 1944. Sejak berada di Papua ia bekerja pada Keuskupan Jayapura dan mendampingi Mgr Herman Munninghof, OFM. Bruder Theo—biasa ia disapa—dipercaya memprakarsai dan mengembangkan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura saat Mgr Leo Laba Ladjar diangkat menjadi Uskup pada tahun 1997. Saat masih mengendalikan SKP Jayapura ia bersama timnya memublikasikan laporan dan dokumentasi situasi hak asasi manusia (HAM) di Papua secara periodik dan seri Memoria Passionis. (***)

Pos terkait